Cuaca dingin yang menusuk sampai persendiaan,
bahkan seolah-olah mampu menembus peredaran “legal” pada darah, dalam beberapa
bulan akhir-akhir ini, tidak kemudian menghambat laju-pesatnya perasaan dan
pikiran yang barangkali bisa disebut “meronta-ronta”. Meronta-ronta itu
terkadang di identikkan dengan “something” yang negatif; ini ada benarnya,
tetapi hal tersebut tetap akan meninggalkan sisi-sisi dan dimensi-dimensi
positif. Dalam sebuah latar dan “setting” ke-meronta-meronta-an terdapat
jenis-jenis gejala psikologis-ekonomis-politis-biologis-sosiologis-filosofis,
diantaranya lapar, “power syndrom”, alienasi, epistemologis, takut, cemas,
depresi, dan seterusnya. Namun, cemas merupakan hal yang paling mudah ditemui
didekat kita, kalau boleh saya menduga, biasanya itu terjadi sebab ada
kekhawatiran yang belum terjadi. Contoh paling mudah adalah apabila kita sedang
dalam kondisi gelap, lampu belum dinyalakan, hal itu akan membuat kekhawatiran
muncul, dibanding dengan kondisi terang.
Lalu, bagaimana jika ada sebuah kondisi jiwa
manusia yang merasakan “kegelapan” ditengah “ke-terang-an”, ataupun sebaliknya.
Gelap yang saya maksud itu secara batin-metafisika, sedangkan terang yang saya
maksud itu dhohir-fisika. Saya jelas yakin, Anda pernah merasakan kegelapan
dalam keterangan yang saya maksud itu, kondisi gabut adalah salah satu contoh
paling ringannya. Contoh beratnya itu praktek membunuh. Dan sederet banyak
contoh permisalan lainnya.
Hal-hal yang dianggap sepele oleh sebagian
orang, bisa dianggap oleh sebagian lainnya penting. Hal-hal yang dianggap
denotasi oleh sebagian orang, sangat bisa dianggap konotasi. Itu namanya
dinamika, sebuah kondisi naik-turun bahkan lebar-sempit, fisika-metafisika,
mind-body. Untuk hal dinamika itu, termasuk dalam kondisi yang normal-normal an
sich, tetapi akan tidak normal; abnormal, apabila kondisi itu berimbas pada
tindakan yang destruktif (merusak).
Kasus penyalahgunaan narkoba yang belum lama
ini menyangkut artis komedian N, adalah potret resmi dari kegelapan dalam
keterangan. Kasus bom bunuh diri mengatasnamakan jihad, yang terjadi di kota S,
merupakan sampel kegelapan dalam keterangan. Juga kasus korupsi yang menimpa
Bupati T di kota K, itu juga gambaran kegelapan dalam keterangan, dan lain
sebagainya, masih banyak tinggal disebutkan piyambek.
Kegelapan dalam keterangan, bahasa mudahnya
adalah tidak mampu melihat mana yang baik dan mana yang buruk. Tidak bisa bisa
bertindak mana yang jahat mana yang bijak. Tidak bisa berpikir mana yang jurang
mana yang pegunungan, dlsb. Pokoknya rabun bener dan buta pener. Kondisi
kegelapan dalam keterangan, substansinya itu terjadi tersebab; tidak tahannya
diri terhadap rangsangan dan dorongan nafsu buruk dari dalam diri. Kan bisa
dipastikan, kalau Anda melihat atau menemui orang baik, itu bisa dipastikan,
dia tahan diri terhadap rangsangan dan dorongan buruk, yang keluar tentu
baik-nya. Berlaku jelas sebaliknya.
Memastikan agar kondisi diri tidak gelap dalam
terang, bisa diatur dengan selalu mengingat konsekuensi buruk sampai
konsekuensi terburuk. Misalnya, akan bertindak mencuri, maka ingatlah penjara,
dlsb. Mengingat konsekuensi buruk yang saya contohkan diatas, merupakan contoh
yang paling permukaan. Pangkal terdalam dari itu sebenarnya dzikrulloh;
mengingat dzat yang maha dari segal maha, yang dari-Nya kita berasal dan
kepada-Nya kita kembali; inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Lalu, bagaimana kita bisa mendapatkan
keterangan dalam kegelapan? Jawabannya mudah dan simpel, cuman prakteknya yang
perlu learning by doing. Misalnya, contoh kasus korupsi yang menimpa Bupati T,
yang ternyata sudah pernah masuk penjara dengan kasus yang sama. Berita yang
penulis dapatkan, Bupati T ini memiliki kemungkinan terkena hukuman mati; ini
contoh kegelapan. Sedangkan contoh keterangannya adalah untuk pejabat lain yang
belum korupsi, atau belum tercyduk KPK, ini sangat bisa menjadi ingatan akan
konsekuensi terburuk atas perilaku koruptif. Pun hal tersebut pula yang masuk
dalam ingatan kita, agar tidak juga melakukan perilaku yang gelap tersebut.
Contoh-contoh yang lain, Anda bisa temukan sendiri, terlebih pada perilaku
keseharian diri kita sendiri, sekali lagi bisa di research piyambekan.
Apabila kita mencoba melebar-luaskan sudut
pandang, maka akan muncul pemikiran seperti ini; bahwa setiap pengalaman pahit
itu mengandung hikmah (pelajaran), namun kita sering luput dari pengalaman
manis, untuk juga diambil hikmahnya. Jadi ternyata ada keterangan dalam
kegelapan, ada kegelapan dalam keterangan, ada kegelapan dalam kegelapan, dan
ada keterangan dalam keterangan. Artinya, dalam baik ada sisi buruk, dalam
buruk ada sisi baik, dalam buruk dan sisi buruk lainnya, dan dalam baik ada
sisi baik lainnya. Pilihan ada ditangan kita, untuk memilih dan memilah, mau
yang bagaimana. Itu soal sudut pandang saja. Kalau saya, tek pilih semuanya,
biar lengkap kebahagiaan dan penderitaan. Nyong kaya kuwe, rika kepriwe?
Wallohu a’lam.
Cilacap, 29 Juli 2019.
Comments
Post a Comment