Tidak begitu menarik bagi saya, apabila dalam
sebuah perjalanan tidak menyempatkan diri untuk datang membersamai siapapun
yang bisa dibersamai, misalnya kawan lama kita. Kunjungan yang paling membuat
saya berkesan bukan berkunjung ke sebuah tempat mewah, layaknya hotel, kafe,
dlsb., namun kunjungan itu akan menuai sisi unik nan romantik, hany a ada
ketika kita berkunjung kerumahnya.
Rumah dengan segala jenis spesifikasinya,
sama-sama memiliki ruh yang sama, ialah sebagai sebuah ruang keberangkatan
sekaligus ruang kepulangan bagi penghuninya. Maka tak heran, agama kemudian
memberikan sebuah frasa baiti jannati.
Pada 28 Agustus 2019, saya yang baru saja
menuntaskan kegiatan yang bertempat di kampus Muhammadiyah Kabupaten Klaten,
langsung menyempatkan diri untuk menghubungi kawan lama saya, yang kebetulan
lokasi rumahnya tidak terlalu jauh dari tempat saya berkegiatan sebelumnya.
Lokasi yang berada di perbatasan Yogyakarta itu, saya singgahi untuk sementara
waktu, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan menuju Solo.
Kawan lama saya ini, aslinya Cilacap.
Sedangkan ke-dua saudaranya yang lain aslinya orang Kebumen. Bertemulah kita
dengan kemesraan bahasa ngapak dialek Banyumasan. Kopi, gorengan, dan kretek,
menemani romantika kita bermesraan dengan malam yang cukup sejuk di perbatasan
Yogya-Jateng itu.
Saya yang terlampau capek, baru dibangunkan
oleh “Bintang Kehidupan”. Lagu yang sangat populer milik Nike Ardila ini,
dikawinkan dengan kentrung oleh Edo, saudara teman lama saya. Musik yang
dilantunkannya ini sanggup membangunkan rasa ngantuk saya. Kemudian saya
bergegas untuk mendatangi Edo yang sedang larut oleh musik yang ia mainkan
sendiri. “Do, kalau sambil ngopi kayaknya enak ini”, ucap saya sambil nyengir
kuda. “wah iya cocok, mas nya kopi yang pahit itu ya?”, timpal Edo yang masih
ingat kopi kesukaan saya itu. Udara yang riuh rendah, yang diselingi kehangatan
mentari di siang hari itu, melengkapi kita yang bernyayi beberapa nomor lagu.
Ada sisi yang cukup menarik untuk diulas dari
sosok Edo ini. Dia yang masih berumur 13 tahun, putus sekolah sejak dibangku
SMP. Dan memutuskan berjualan kue pukis di perbatasan Yogya. Dia berjualan pagi
dan sore hari.
Lirik lagu yang sempat dibawakannya berbunyi,
“jauh sudah langkahku, menyusuri hidupku yang penuh tanda tanya..kadang hati
bimbang, menentukan sikapku, tiada tempat mengadu..”, memberikan sebuah
meaningfull, tentang kedalaman jiwanya. Barangkali anak usia 13 tahun ini,
punya psikis yang cukup porak-poranda akibat dunya la tarham, dunia tidak
memihak.
Bintang kehidupan sedang putus sekolah. Itu
barangkali yang ada pada lintasan ide dalam kepala saya. Mencerdaskan kehidupan
bangsa yang telah diproklamirkan oleh founding parents kita, nampaknya
merupakan agenda yang never ending stop. Cuman disisi yang lain, anak yang
berusia 13 tahun ini, punya kuda-kuda kebatinan yang kuat, minimal untuk tetap
bergembira dalam menapaki realitas kehidupan yang tidak memihaknya.
Martabat kebangsaan Indonesia yang tercermin
dalam sikap Edo yang ramah masih ada. Walaupun bapak Indonesia tidak begitu
ramah dengannya. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya saja, moralitas anak
sekolahan kok kerap kalah dengan mereka yang anak jalanan. Memang tidak
semuanya, namun seringkali koruptor malah diproduksi besar-besaran dari lembaga
sekolah, khususnya perguruan tinggi.
Urusan martabat adalah yang pertama, baru
ngomongin kesejahteraan. Martabat itu akhlak yang tinggi, fastabiqul khoirot.
Sedangkan kesejahteraan itu soal lapar dan kenyang, bukan life style yang malah
ditunjukkan akhir-akhir ini, khususnya oleh kita-kita barangkali.
Siapa yang rela mem-bapak-i dan meng-ibu-i
wajah masa depan Indonesia? Ditengah “jauh sudah langkahku, menyusuri hidupku,
yang penuh tanda tanya?” terpaan-terpaan hidup yang membuat “kadang hati bimbang,
menentukan sikapku..tiada tempat mengadu”?.
Wallohu a’lam.
Perbatasan Yogya, 29 Agustus 2019.
Comments
Post a Comment