Beberapa hari yang lalu, saat pertama kali liga
Inggris dimulai, alam bawah sadar saya memberikan dorongan untuk segera mencari
channel TV yang menjadi official broadcashting. Ndilalah, club yang sejak
2006-an saya menyukainya, dapat giliran untuk bermain. 90+4 menit permainan
berjalan, pada akhirnya club kesukaan saya itu memenangkan pertandingan.
Tentu perasaan senang dalam hati saya tak
terhindarkan. Waktu yang sudah larut malam, yang seharusnya mata diberikan
haknya untuk dipejamkan, ternyata masih larut dalam kegembiraan batin sebab
kemenangan club kesayangan yang berhasil memenangkan pertandingan. Mungkin oleh
sebab itu, rasa ngantuk tertahan, yang kemudian memaksa tangan dan ibu jari
berkolaborasi untuk memfungsikan HP, untuk membuka WA. Waktu itu yang saya chat
adalah teman saya, yang jarak rumahnya kalau ditempuh menggunakan sepeda motor,
kira-kira membutuhkan waktu 4 menitan untuk sampai. Kebetulan teman yang saya
chat ini belum tidur.
Dan kebetulan juga, didepan rumahnya sedang
berkumpul teman-temannya, yang notabene saya mengenalnya secara dekat dan
hangat. Maka tak perlu berpikir lama, saya memutuskan untuk langsung OTW menuju
lokasi rumah dimana teman-teman sedang berkumpul itu. Setibanya disana, saya
dikejutkan dengan wajah-wajah lama yang sudah lama saya kenal. Teman-teman
seperjuangan di sebuah perguruan bela diri di desa. Kelakar-kelakar ringan
sudah menjadi makanan yang wajib dikonsumsi oleh kita, yang sangat ampuh untuk
melonggarkan syaraf pikiran dan perasaan dari terpaan hidup yang kerap njaremi
ati.
Sampai pada pergantian hari menuju pagi, kretek
dan kopi hitam menjadi saksi bisu, betapa mesranya anak-anak manusia ini
menjalin relasi, dialaektika, dan dilengkapi dengan sambatan-sambatan khas
orang desa. Sebab cukup lama kita tidak bersua dalam tatapan muka, maka
pengalaman-pengalaman pun membanjiri obrolan mereka.
Berbagi pengalaman nampaknya menjadi sesi yang
cukup menguras energi psikologis diantara mereka. Terlebih bagi anak muda yang
bernama Karyo. Dia membagikan pengalamannya sekaligus meminta permintaan untuk
kemudian diberikan respon-respon solutif, oleh temannya yang dianggap paling
memiliki pengalaman dan expert dibidangnya, yaitu Wardoyo. Setelah 6 (enam)
menit Karyo memberikan eksplanasi pengalamannya, yang ternyata berisi konten
pergulatan hubungan asmara.
Kemudian Wardoyo memberikan senyum kecut,
seolah-olah memberikan pesan bahwa ia juga pernah mengalami hal yang serupa.
Pantas saja, Wardoyo ini sudah menikah yang sudah pula membuahkan hasil anak
berumur hampir 3 tahunan. Karyo kemudian bertanya kepada Wardoyo, “Pas kamu
menikah dulu, bagaimana bisa tau bahwa ia adalah jodohmu?” tanya karyo dengan
wajah penasaran yang kelewatan.
Sambil menyalakan kretek terakhirnya, Wardoyo
memberikan respon, “dulu pas aku mau nikah, dalam hati itu rasanya sudah yakin
seyakin-yakinnya, intinya hati rasanya mantap”, respon Wardoyo denga muka yang
cukup serius itu. “Semua hal yang kamu jalani, pokonya dibawa enjoy saja, kabeh
mau ana mangsane”, tambah Wardoyo sambil nyruput kopi. Karyo kemudian terdiam,
wajahnya mengabarkan bahwa dirinya sedang menangkap makna dari respon Wardoyo
yang berpengalaman itu.
Karyo yang memiliki pengalaman gagal dalam
hubungan keasmaraan, pada akhirnya sadar bahwa semua harus dijalankan secara
enjoy saja, ia sepakat dengan tanggapan Wardoyo, yang menempatkan pengalaman
sebagai guru kejam yang terbaik. Mengapa pengalaman adalah guru kejam yang
terbaik? Karena pembelajaran dari pengalaman, hanya dan hanya terdapat setelah
kita meng-alami-nya. Tentunya yang kita alami itu, potensial melukai atau
sebaliknya.
Wallohu a’lam.
Banyumas, 14 Agustus 2019.
Comments
Post a Comment