Skip to main content

Mekanisme Pertahanan Diri, Masyarakat Kita.


Pada akhirnya, kita punya mekanisme pertahanan diri dalam aspek kebahagiaan. Orang Indonesia memang kaya raya, bukan hanya soal sumber daya alam, lebih dari itu. Adalah sumber daya manusia yang justru lebih kaya raya. Kalau disebutkan jelas terlalu banyak, bahkan ada banyak yang belum terjangkau oleh akal dan hati kita.

Momentum 17 Agustus, setiap tahunnya selalu meriah, walaupun ada beberapa juga yang melontarkan kritik, dalam hal ini terhadap kemeriahannya. Ada yang bilang kurang esensial dan substansial, karena hanya berisi lomba makan krupuk, panjat pinang, kelereng sendok, dan seterusnya. Kalau saya cermati secara sekilas, kritik tersebut ada benarnya.

Namun kalau ditinjau dan diulik lebih dalam, kemeriahan 17 Agustus itu mengandung nilai-nilai luhur sekaligus agung. Bagaimana tidak, kita bisa melihat kebahagiaan yang lepas dari wajah masyarakat, tidak hanya di desa, tapi terdapat dimana saja. Kebahagiaan yang lepas ini, merupakan aset yang begitu luar biasa.

Misalkan kalau kita mau memandang dari aspek ekonomi-politik, jelas masih jauh dari kata kesejahteraan. Namun seolah-olah, tidak pernah terjadi apa-apa pada psikis mereka, dalam menghadapi terpaan-terpaan hegemoni global yang makin lama makin brutal. Apalagi saat mementum pertandingan sepak bola, mereka jelas-jelas sanggup melupakan duka lara yang menimpa, baik yang datang dari pihak internal maupun eksternal.

Warna persatuan jelas nampak, aroma kebersamaan kuat menyeruak. Dari sini, bisa tarik dari sisi yang paling sederhana, ialah mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) masyarakat kita yang benar-benar unggul.

Inilah sebagian kecil yang saya maksud sebagai kekayaan batin bangsa Indonesia, yang jelas harus dilestarikan dan disuburkembangkan. Elite politik, sekali lagi wajib hukumnya untuk merguru belajar dari hal-hal semacam ini. Supaya tidak cuma berkoar persatuan dan kesatuan, padahal alam bawah sadar mereka tidak pernah absen dari ajakan pertikaian kejiwaan.

Wallohu a’lam.
Cilacap, 9 Agusutus 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-