Indonesia yang "lahir" pada 17 Agustus 1945, sebentar lagi akan berulang tahun yang ke-74. Kalau kita lihat dari sudut dan kacamata evolusi manusia, maka umur 74 bisa dikatakan menjelang sepuh. Namun melihat dengan perspektif evolusi untuk sebuah bangsa dan negara, sepertinya kurang tepat, walaupun tidak kemudian bisa sepenuhnya disalahkan.
74 tahun sudah ibu pertiwi secara politik mengalami 7 kali perubahan presiden, juga melalui paling tidak 3 (tiga) fase yang akrab dalam pandangan umum, yaitu orde lama, orde baru, dan sekarang era reformasi. Dinamika berbangsa dan bernegara terus berjalan. Revolusi fisik telah dilalui, kemudian revolusi industri 4.0 sedang dihadapi.
Pertanyaan yang muncul saat ini adalah bagaimana dengan masa yang akan datang? Maksud saya, bagaimana warna nasib negara yang bernama Indonesia ini? Apakah warna putih, ataukah merah? Atau malah abu-abu? Segala macam dan jenis, bahkan spesifikasi pertanyaan sangat bisa dan lumayan banyak sanggup muncul.
Cara paling simpel untuk menatap masa depan, adalah dengan menengok hari ini. Barangkali kita bisa menatapnya melalui sudut pandang masyarakat luas (awam). Dalam kesejarahannya, masyarakat luas memiliki memori kolektif terhadap mereka kamu terpelajar. Kita tahu semua, bahwa para pendiri bangsa kita, mayoritas adalah kaum terpelajar. Maka sah-sah saja, apabila hari ini pula kita gantungkan masa depan bangsa kepada kaum terpelajar pula.
Kaum terpelajar dalam hal ini, mahasiswa; secara stratifikatif pendidikan formal bertempat dan bertengger di posisi yang paling tinggi. Maka kemudian, mereka ini (baca: kaum terpelajar) menjadi tulang punggung masa depan Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah kaum terpelajar bangsa kita mampu dan mau memimpin Indonesia masa depan?
Pada setiap tahun, rata-rata kampus di Indonesia meluluskan 2-3 kali wisudawan/ti. Tentu setiap lulusan memiliki jumlah yang tidak sedikit. Terlebih kampus-kampus besar, seperti UGM, UI, UMS, UIN, dan seterusnya.
Kita harus mengakui, bahwa alumni kampus tidak sedikit yang kemudian memegang tampuk kepemimpinan nasional. Akan tetapi, hal tersebut juga tidak kemudian menutup celah bagi mereka yang "gagal" menjadi pemimpin, yang memberikan arah perbaikan bagi Indonesia.
Waktu saya tidak sengaja terlibat dalam rangkaian acara tasyakuran wisuda teman di salah satu kampus kenamaan kota P, disitu ada fenomena yang cukup menggelitik. Pertama, lulusan kampus yang merepresentasikan kaum terpelajar itu memiliki prestasi yang cukup menggembirakan, seminimal-minimalnya mendapatkan pengakuan dari pihak orang tua bahwa mereka dapat menjadi anak yang membanggakan, sebab bisa bekerja di "luar negeri". Kedua, lulusan kampus yang melambangkan kaum terpelajar itu menaruh kobobrokan yang cukup mendalam. Bagaimana tidak, acara tasyakuran mereka di isi dengan mabuk-mabukan, yang tentu tidak ada satupun oranh di tanah air ini yang menyangkal derajat keharamannya.
Pada sela-sela acara tasyakuran wisuda itu, saya lebih sering terdiam memperhatikan lekuk dan warna pembicaraan mereka. Kalau diamati, idealisme kaum terpelajar seolah-olah tersingkir dari nalar mereka. Pembicaraan yang muncul tidak kemudian mengarah pada hal-hal yang substansial-solutif, justru mereka menyumbangkan degradasi moral yang signifikan, walaupun omongan saya bisa saja keliru. Akan tetapi, bagaimanapun juga, nalar kaum terpelajar akan tetap muncul walau hanya seucap-sekata, dan sedihnya saya tidak mendengar hal itu saat membersamai mereka. Apakah semuanya begitu? Tentu tidak, namun jelas lebih banyak yang terseok-seok moral yang degradatif.
Kampus, pemerintah, dan masyarakat; tidak mungkin mengajari generasi hari ini untuk terjun kepada hal-hal yang degradatif-imoral. Namun tidak menutup kemungkinan secara kebudayaan hal degradatif-imarol itu ditularkan dalam bentuk-bentuk yang lebih masif, yaitu dengan keteladanan. Wong budaya korupsi seolah menjadi makanan setiap hari, wong kepayahan pengelolaan kebijakan acap kali dipertonton-pentaskan, wong kekerasan dianggap hal wajar, wong penyalahgunaan narkotika dianggap menjadi bagian dari kehidupan yang sah-sah saja, wong sex bebas itu dianggap perlu di lokalisasi sebagai pendapatan seksi daerah, wong....wong....wong.....
Masihkah masyarakat luas masih berharap kepada kaum terpelajar? Boleh, tapi jangan lupa; bahwa universitas kehidupan seringkali lebih mampu menciptakan lulusan yang lebih mumpuni, ketimbang universitas "bayaran".
Wallohu a'lam.
Cilacap, 9 Agustus 2019.
74 tahun sudah ibu pertiwi secara politik mengalami 7 kali perubahan presiden, juga melalui paling tidak 3 (tiga) fase yang akrab dalam pandangan umum, yaitu orde lama, orde baru, dan sekarang era reformasi. Dinamika berbangsa dan bernegara terus berjalan. Revolusi fisik telah dilalui, kemudian revolusi industri 4.0 sedang dihadapi.
Pertanyaan yang muncul saat ini adalah bagaimana dengan masa yang akan datang? Maksud saya, bagaimana warna nasib negara yang bernama Indonesia ini? Apakah warna putih, ataukah merah? Atau malah abu-abu? Segala macam dan jenis, bahkan spesifikasi pertanyaan sangat bisa dan lumayan banyak sanggup muncul.
Cara paling simpel untuk menatap masa depan, adalah dengan menengok hari ini. Barangkali kita bisa menatapnya melalui sudut pandang masyarakat luas (awam). Dalam kesejarahannya, masyarakat luas memiliki memori kolektif terhadap mereka kamu terpelajar. Kita tahu semua, bahwa para pendiri bangsa kita, mayoritas adalah kaum terpelajar. Maka sah-sah saja, apabila hari ini pula kita gantungkan masa depan bangsa kepada kaum terpelajar pula.
Kaum terpelajar dalam hal ini, mahasiswa; secara stratifikatif pendidikan formal bertempat dan bertengger di posisi yang paling tinggi. Maka kemudian, mereka ini (baca: kaum terpelajar) menjadi tulang punggung masa depan Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah kaum terpelajar bangsa kita mampu dan mau memimpin Indonesia masa depan?
Pada setiap tahun, rata-rata kampus di Indonesia meluluskan 2-3 kali wisudawan/ti. Tentu setiap lulusan memiliki jumlah yang tidak sedikit. Terlebih kampus-kampus besar, seperti UGM, UI, UMS, UIN, dan seterusnya.
Kita harus mengakui, bahwa alumni kampus tidak sedikit yang kemudian memegang tampuk kepemimpinan nasional. Akan tetapi, hal tersebut juga tidak kemudian menutup celah bagi mereka yang "gagal" menjadi pemimpin, yang memberikan arah perbaikan bagi Indonesia.
Waktu saya tidak sengaja terlibat dalam rangkaian acara tasyakuran wisuda teman di salah satu kampus kenamaan kota P, disitu ada fenomena yang cukup menggelitik. Pertama, lulusan kampus yang merepresentasikan kaum terpelajar itu memiliki prestasi yang cukup menggembirakan, seminimal-minimalnya mendapatkan pengakuan dari pihak orang tua bahwa mereka dapat menjadi anak yang membanggakan, sebab bisa bekerja di "luar negeri". Kedua, lulusan kampus yang melambangkan kaum terpelajar itu menaruh kobobrokan yang cukup mendalam. Bagaimana tidak, acara tasyakuran mereka di isi dengan mabuk-mabukan, yang tentu tidak ada satupun oranh di tanah air ini yang menyangkal derajat keharamannya.
Pada sela-sela acara tasyakuran wisuda itu, saya lebih sering terdiam memperhatikan lekuk dan warna pembicaraan mereka. Kalau diamati, idealisme kaum terpelajar seolah-olah tersingkir dari nalar mereka. Pembicaraan yang muncul tidak kemudian mengarah pada hal-hal yang substansial-solutif, justru mereka menyumbangkan degradasi moral yang signifikan, walaupun omongan saya bisa saja keliru. Akan tetapi, bagaimanapun juga, nalar kaum terpelajar akan tetap muncul walau hanya seucap-sekata, dan sedihnya saya tidak mendengar hal itu saat membersamai mereka. Apakah semuanya begitu? Tentu tidak, namun jelas lebih banyak yang terseok-seok moral yang degradatif.
Kampus, pemerintah, dan masyarakat; tidak mungkin mengajari generasi hari ini untuk terjun kepada hal-hal yang degradatif-imoral. Namun tidak menutup kemungkinan secara kebudayaan hal degradatif-imarol itu ditularkan dalam bentuk-bentuk yang lebih masif, yaitu dengan keteladanan. Wong budaya korupsi seolah menjadi makanan setiap hari, wong kepayahan pengelolaan kebijakan acap kali dipertonton-pentaskan, wong kekerasan dianggap hal wajar, wong penyalahgunaan narkotika dianggap menjadi bagian dari kehidupan yang sah-sah saja, wong sex bebas itu dianggap perlu di lokalisasi sebagai pendapatan seksi daerah, wong....wong....wong.....
Masihkah masyarakat luas masih berharap kepada kaum terpelajar? Boleh, tapi jangan lupa; bahwa universitas kehidupan seringkali lebih mampu menciptakan lulusan yang lebih mumpuni, ketimbang universitas "bayaran".
Wallohu a'lam.
Cilacap, 9 Agustus 2019.
Comments
Post a Comment