Suara motor empat tak terdengar dari kejauhan,
lambat laun suara tersebut mengarah ke salah satu teras rumah salah seorang
warga. Ternyata motor tersebut berhenti dan parkir di rumah Pak RT, namanya pak
S. Pak S yang dari dulu memang sering kedatangan tamu, sangat terlatih untuk
menyambutnya dengan hangat, seperti biasa pak S selalu menyambut tamu-tamunya
bersama dengan istri semata wayangnya. Kemudian, istrinya juga secara otomatis
menyediakan jamuan seadanya, kalau adanya air putih ya air putih, kalau adanya
teh ya teh, sesekali kopi, sesekali susu.
Tamu yang mengunjungi rumah pak S tersebut
rupa-rupanya, adalah teman lama dari pak S, yang juga merupakan teman lama dari
istrinya itu. Tamu tersebut namanya pak Hamzah, jadi mereka ngobrol tidak
memakai bahasa formal-struktural, melainkan mengalir secara kultural gaya
orang-orang Desa yang amat buket ketika bertemu. Dari mulai tersenyum,
ngomongin kesehatan keluarga, pendidikan anak-anak, kesibukan terakhir
aktifitas, sampai kepada tema-tema yang cukup berat, yaitu masa depan kesejahteraan
Desanya.
Pak Hamzah yang konon merupakan wirausahawan
yang cukup berhasil ini, berkunjung ke rumah Pak S ingin memberitahu sekaligus
meminta restu, bahwa dirinya akan mencalonkan diri sebagai Kepala Desa (KADES),
atau orang Desa itu lebih akrab dengan terminologi Lurah, walaupun term
Lurah sebenarnya secara administratif hanya ada di Kelurahan, bukan di Desa,
biasanya terdapat di Kota. Memberitahu dan meminta restu, adalah sebuah
komunikasi implisit meminta dukungan, khususnya meminta dukungan suara politik.
Pak S yang dikunjungi tersebut kemudian
bertanya mengenai kesiapan Pak Hamzah, terutama kesiapan modal uang. “mohon
maaf ini Pak Hamzah, nyalon jadi Kades itu kan butuh biaya, apakah Bapak sudah
menyiapkannya?” tanya pak S dengan nada khas pengamat politik di TV-TV,
maklum dia langganan acara ILC. “kalau uang untuk cost politik ada Pak,
tapi kalau uang untuk money politik saya tidak menyediakannya”. Jawab
pak Hamzah, dengan nada yang pelan, namun penuh dengan kepercayaan diri.
Obrolan itu kemudian beranjak pada
hitung-hitungan suara pemilih, bahasa kerennya ngitungi biting. “Politik
hari ini memang tidak bisa dilepaskan dari hitung-hitungan suara, maklum saja,
karena di Negeri ini kan memakai sistem one man one vote”. Respon
istrinya dengan nada khas kewanitaannya. “iya betul itu, akan tetapi saya
sudah berkomitmen untuk tidak merendahkan martabat masyarakat dengan memberinya
amplop berisi uang”. Sahut pak Hamzah dengan muka kerendahan hatinya.
“waduh...hari gini gak pake uang, mana bisa pak, rakyat mana mau memilih!!!”, respon
pak S dengan nada agak tinggi, menunjukkan ekspresi antara keprihatian dan
kepercayaan diri-an. “saya percaya sepenuhnya pada Alloh, usaha-usaha
silaturrahim kepada masyarakat dengan memberitahu mereka dengan program-program
yang akan saya dan perangkat Desa lakukan, mudah-mudahan mereka akan
tersadarkan, kalaupun mereka tidak memilih saya, ya tidak apa-apa, yang
terpenting ikhtiar dahulu”, jawab pak Hamzah dengan intonasi yang
cukup membuat pak S dan istrinya cukup tercengang dan berdecak kagum.
Malam yang sudah menunjukkan hampir jam
sebelas malam itu, mengakhiri omong-omongan mereka bertiga. Pak Hamzah
meminta ijin kepada Pak S dan istrinya untuk pamit. Setelah suara motor pak S
tak terdengar dari depan rumahnya, kemudian istri pak S nyletuk, “ini orang mau
nyalon kades kok cuma modal dengkul ya Bi?”.......”aaaSyudahlah, kita lihat
saja nanti perkembangan dari kontestasi dan konstelasi politik di Desa kita,
siapa yang akan jadi kades besok”, jawab Pak S sambil menutup pintu depan
rumahnya.
Waktu itu sedang musim menunjukkan ketiga,
istilah orang Jawa untuk menamai musim kemarau. Suhu politik mendekati hari
pencoblosan lumayan panas ketika siang, cenderung dingin ketika malam, seolah
menyesuaikan suhu geografis, akan tetapi para botoh atau tim sukses
masing-masing jago atau calon terus menyisir bergerak ke sudut-sudut
setiap penjuru desa itu untuk campaign. Dalam Pemilihan Kepala Desa (PILKADES)
pada tahun tersebut, ada tiga calon yang berjuang banyak-banyakan suara untuk
nantinya ditetapkan sebagai Kepala Desa (KADES). Yang cukup unik adalah,
satu-satunya calon yang tidak memakai approach money politik adalah Pak
Hamzah. Sedangkan kedua calon yang lain pakai semua, bahkan ada salah satu
calon yang memberikan kepada satu orang itu setengah juta....Ngeri, modal
dari mana tuh? Kata batin saya. Kalau
memberikannya pada sebagaian warga Desa kan banyak banget, sedangkan di Desa
itu ada tiga ribu lebih pemilih, silahkan ditotal sendiri saja.
Satu minggu kemudian, tibalah saat hari
pencoblosan. Seharian penuh, start pagi, petugas pemungutan suara
menghitung-hitung kertas yang sudah dicoblos warga setempat. Akhirnya pada sore
hari, sekitar jam setengah lima, perhitungan itu selesai. Perhitungan yang
diselenggarakan di lapangan Desa itu, ajaibnya adalah dari ketiga calon kades
yang memiliki hasil perolehan suara terbanyak ialah Pak Hamzah, dengan selisih
suara yang tidak jauh berbeda dengan dua calon lainnya, selisihnya cuma “seratus-seratus”.
Selesailah kontestasi PILKADES di Desa itu, dengan ditetapkannya pak Hamzah
sebagai Kepala Desa yang baru, untuk lima tahun kedepan, untuk periode 2018
sampai 2023.
Cerita calon kades yang modal dengkul ini,
alias tidak muwur (baca: money politik) sampai ke telinga peserta
seminar gerakan mahasiswa di kota yang jaraknya satu jam-an dari Desa tersebut.
Sebuah seminar yang di isi oleh tokoh-tokoh pemuda aktivis inspiratif. Sontak
terdengar tepuk tangan meriah dari penonton yang mendengar cerita Pak Hamzah
itu, seolah-olah tepuk tangan itu menunjukkan kekaguman dari dalam hati mereka
masing-masing.
“Pak Hamzah secara track record,
memiliki reputasi yang menunjukkan skala positif. Secara ekonomi dia sudah
selesai, secara asmara pun paripurna, apalagi secara ritualitas agama, dia
adalah guru ngaji anak-anak di TPQ, imam sholat tarawih, pun dia aktif
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pemberdayaan sosial di Desa nya”, ujar
salah Maman, yang merupakan mantan santrinya di TPQ.”ooohhh...jadi rekam
jejak seseorang sangat berpengaruh terhadap preferensi politik ya Man?”, sahut
Mimin yang merupakan kakak kelas Maman di SMA-nya dulu. “iya mba Min,
seperti halnya Nabi Muhammad SAW, yang diangkat menjadi pemimpin Madinah. Nabi
SAW kan sudah terkenal Al-Amin (dapat dipercaya), ketika tinggal di Makkah”.
Jawab Maman, gaya ngomongnya sudah seperti memberikan khutbah jum’at.
Jadi memang untuk mencalonkan diri sebagai
pemimpin, kita perlu menyiapkan kuda-kuda persiapan. Terlebih kesiapan niat
baik, good will, kesiapan kesungguhan mengabdi, kesiapan kekuatan
fisik-psikis, pun tak luput kesiapan modal “dengkul”, yaitu dengkul untuk tetap
istiqomah tawakkal hanya kepada Alloh. Cost politik oke, money
politik jangan.
Cerita Pak Hamzah yang nyalon KADES “modal
dengkul” tersebut, bisa jadi hanya penghibur bagi mereka yang tidak punya modal
uang, atau bisa jadi pemberi insight bagi mereka-mereka calon yang punya
banyak uang, akan tetapi memilih untuk tidak merendahkan martabat masyarakatnya
dengan metodologi money politik. Walaupun cerita yang sama dengan Pak
hamzah juga terdapat di pelosok negeri lain, akan tetapi kok saya yakin, bahwa
cerita yang lebih banyak ada pada mereka yang memenangkan kontestasi dengan
cara memberikan uang kepada para pemilih. Semoga saja, hipotesa saya
keliru jauh, walau hati mengatakan dekat. Terus, mau bagaimana kalau sudah
begini?
Wallohu a’lam.
Banyumas, 21 Juli 2019.
Comments
Post a Comment