Skip to main content

Idhul Fitri Setiap Hari


Walaupun saya melihat gesekan pilihan politik antara pendukung 01 dan 02 tidak terlalu berpengaruh secara signifikan, khususnya di dunia nyata, apalagi di desa tempat saya tinggal. Namun, gesekan yang jelas terasa sementara ini, saya amati banyak terdapat di dunia maya, terlebih twitter. 

Gesekan yang terjadi di dunia maya, hemat saya merupakan perwujudan yang ada pada dunia nyata batin manusia. Maka hal ini tidak kemudian saya diamkan begitu saja, artinya saya perlu melakukan sesuatu, walaupun ini tindakkan yang kecil, walaupun hanya menulis catatan di blog pribadi. 

Walaupun mungkin tulisan yang amatiran ini tak sepenuhnya menjangkau mereka yang melakukan tindakan-tindakan memecah belah di dunia maya, sebab lingkaran pengaruh saya yang masih minimalis menyentuh sedikit pembaca. Tetapi saya mengingat pesan bijak dari mas Sabrang, bahwa “hidup ini terlalu indah untuk tak berbuat apapun”.  Mudah-mudahan ini dapat menjadi upaya mitigasi pribadi saya untuk melawan diri yang egois, yang lebih mementingkan kepentingan diri, dan acapkali kalah berargumen dengan nafsu di hati.

Waktu itu, udara pagi hari raya mengelus dada yang gundah, akibat banyaknya dosa. Walaupun puasa ramadhan telah saya lakukan, namun gapaian ketaqwaan masih jauh panggang dari api. Pagi itu, saya dan ibu pergi ke lapangan desa untuk ikut terlibat sholat id, seperti tahun-tahun sebelumnya. 

Orang-orang berbondong menuju lapangan dan masjid setempat, ada yang menggunakan kakinya masing-masing, mengendarai motor, ataupun naik mobil. Saya mencoba mengamati sepintas raut wajah masing-masing mereka yang sempat terlihat dan terjangkau. Ternyata simpulan saya menarik, teori ilmu psikologi mengatakan bahwa, ada relasi antara kondisi psikis dan fisik, yang paling kentara terlihat adalah ekspresi wajah. Wajah-wajah disekitaran lapangan sangat beragam, tetapi seragam, yaitu bahagia. 

Beragamnya hanya pada tataran tingkatnya. Sampai pada waktu sholat id sudah selesai, para hadirin dengan seksama mendengarkan khutbah dari khotib, kebetulan yang jadi khotib adalah senior saya di madrasah dulu, semakin menggugah batin saya untuk menyerap dan bahkan mencatat poin-poin pentingnya.

Teori komunikasi selalu memiliki pola yang tak jauh berbeda ketika sudah sampai pada praktek di lapangan, yaitu bicara dari hal yang makro ke mikro, kalau dalam logika namanya deduktif (umum ke khusus). Pertama, khotib menyampaikan bahwa taqwa merupakan happy ending dari pribadi yang mukmin, mukhlis, mukhsin, dan muslim. Kedua, muttaqin (orang yang bertaqwa) itu bukan saja saat bulan ramadhan, tetapi secara berkelanjutan pada bulan-bulan setelahnya. Ketiga, gema takbir seharusnya mampu menepis kesombongan kita sebagai manusia. Keempat, adalah momentum idhul fitri harus menjadi momentum saling memaafkan, pun juga melupakan kesalahan orang lain, khotib memberikan metafora “aku maafkan kamu dan aku akan lupakan kesalahanmu”. Percik lontaran nasehat diatas, apabila kita resapi, sungguh amat dalam maknanya, terlebih bagi kita yang sering tak bisa menghindar dari potensi-potensi permusuhan dan tindakan-tindakan buruk lainnya.

Kemudian, yang unik dari tradisi di bangsa kita ialah bersalam-salaman, saling memohon maaf, saling memaafkan antar sesama, walaupun kadang realitanya orang tersebut sebelumnya belum pernah mengenalnya. Ini sebuah tradisi yang luar biasa, sejauh ini saya belum melihat ataupun mendengar tradisi diatas ada di bangsa lain selain Indonesia. 

Setidaknya, tradisi tersebut dapat sedikit melonggarkan urat ketegangan pilpres 2019, yang sebagian orang telah keterlaluan fanatis, overdosis memihak, dan sampai luber dalam mengeksresikan dukungannya. Tulisan singkat ini saya tutup dengan quote bijak dari Cak Nun, “bahwa setiap hari adalah idhul fitri, setiap hari kita harus mengakui kesalahan, dan berani meminta maaf”.

 Wallohu a'lam.
Banyumas, 15 Juni 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-