Skip to main content

Healing the past, facing the future.


Healing the past, facing the future, itulah kata Nelson Mandela, ketika tampil sebagai pemimpin Afrika Selatan. Adalah bagaimana menyembuhkan luka-luka masa lalu, untuk masa depan yang lebih baik. Rasa-rasanya frasa tersebut cukup tepat untuk keadaan hari-hari ini. Dimana kontestasi Pemilihan Umum (PEMILU) Presiden, legislatif pusat hingga daerah 17 April 2019, pun juga yang tidak kalah penting adalah Pemilihan Kepala Desa (PILKADES), yang baru dilakukan pada 23 Juli 2019.

Dalam kaca mata sosial-politik, tidak ada jalan lain untuk sesegera mungkin melakukan rekonsiliasi, namun apabila diksi rekonsiliasi tidak disukai, bisa juga menggunakan terminologi konsolidasi. Antara rekonsiliasi dan konsolidasi ini, keduanya memiliki sedikit kemiripan, yaitu terdapat pada tujuan, ialah bertujuan untuk kebaikan di waktu yang akan datang. Kebaikan diatas, tentu menyesuaikan apa yang diperlukan dan dibutuhkan oleh masyarakat setempat.

Dalam kaca mata psikologis, terdapat dua poin besar yang melingkupi kontestasi politik, ialah satu penolakan dan dua adalah kehilangan. Kontestan politik yang “kalah”, tentu merasakan kedua-duanya, baik itu penolakan pemilih, serta kehilangan biaya politiknya. Hal ini secara otomatis akan berimbas pada kondisi kejiwaannya, pikiran-perasaan, bahkan kondisi fisiknya. Ringannya stress, depresi, sampai gila. Hal tersebut, tentu dapat diantisipasi dengan mensikapinya secara dewasa dan penuh keadaban.

Kembali kepada frasa yang monumental dari Mandela diatas, yaitu healing the past, facing the future. Konstestan yang “kalah” tentu wajib menerimanya dengan lapang dada, namun yang paling penting adalah bagi kontestan yang menang, ia wajib melakukan upaya penyembuhan-penyembuhan sosial-politik. Diantaranya adalah dengan menghadirkan titik temu kebijakan, bisa melalui akomodasi politik, juga bisa dengan akomodasi konsep atau gagasan, dengan mantan rivalnya.

Walaupun kultur masyarakat Indonesia yang cukup terlatih dalam menerima perbedaan, baik itu agama, budaya, bahkan preferensi politik. Namun upaya-upaya penyembuhan secara komprehensif terhadap kejadian pemilu harus dilakukan dengan cepat dan juga tepat. Elite agamawan, politisi, cendekiawan, wirausahawan, jurnalis, kelompok prefesional, pendidik, pekerja sosial, budayawan, tentara, dan polisi. Itulah pemberi warna dalam kehidupan.

Kini saatnya yang menang, harus segera menyusun konsep dan praksis kebijakan yang rapi untuk kemudian dihidangkan kepada publik. Bukan sekedar mengamankan legalitas kekuasaan, dan menguatkan legitimasi kekuasaannya, akan tetapi yang lebih substansial adalah menyajikan legacy bagi generasi masa depan. Ingatlah, bahwa politik hanyalah toolls, bukan tujuan.

Berdasarkan realitas politik yang belum lama ini kita rasakan bersama itu, juga terdapat hal yang masih sangat relevan untuk direfleksikan yaitu sekali lagi healing the past, facing the future dalam segala aspek. Bisa aspek keagamaan diri, bisa sudut perekonomian diri, bisa sudut percintaan diri.

Wallohu a’alam.
Banyumas, 25 Juli 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-