“Sekali-kali ngopi bareng diri sendiri”.
Sekilas kalimat tersebut kontradiktif, sebab yang namanya bareng itu perlu ada
pihak lain. Akan tetapi, kalau mau di cerna menggunakan sudut pandang lain,
maka kalimat itu sama sekali tidak kontradiktif, melainkan sangat tajam ke
dalam, khususnya ke dalam diri kita sendiri.
Pernahkah Anda menjumpai seorang perempuan
yang marah-marah kepada laki-laki, ataupun sebaliknya, laki-laki yang
marah-marah kepada perempuan? Entah itu dalam konteks hubungan asmara, relasi
keluarga, pekerjaan, atau apapun jenis konteks yang melatarbelakanginya itu.
Sangat mungkin terjadi, bahwa fenomena marah-marah yang kita jumpai atau bisa
jadi yang kita alami sendiri itu, dikarenakan oleh belum tuntasnya “ngopi”
bareng diri sendiri.
Makna ngopi disini, bisa kita artikan sebagai
dialog-diskusi-ngobrol yang intinya adalah komunikasi introspektif. Komunikasi
dengan orang lain atau pihak lain itu penting, bahkan sudah menjadi salah satu
fitrah dasar kita menjadi manusia, untuk terus di bangun dan di jaga, namun
yang benar-benar tidak kalah pentingnya adalah membangun dan menjaga komunikasi
dengan pihak diri sendiri. Setiap terjadinya komunikasi, selalu dimungkinkan
adanya proses tanya-jawab. Tanya-jawab itu bisa bersifat linier, lancar, aman, dialektis,
bahkan bisa sangat memungkinkan untuk konflik, seminimal-minalnya dengan
ekspresi marah pada batin hati-akal kita masing-masing.
Menyempatkan dan meng-agenda-kan menjalin
komunikasi dengan diri sendiri ini kelihatannya sering luput dari pen-deteksi-an
dan per-hati-an kita, sering pula terlupakan dari list dan daftar kesempatan
kita. Adapun konten atau isi komunikasi tersebut, itu merupakan hak prerogatif
Anda. Cuman akan lebih indah, jika komunikasi itu di isi dengan konten-konten
yang paling krusial dalam hidup ini. Misalnya menanyakan, “apa yang sebenarnya
saya cari dari hidup ini”, dan sebagainya.
Untuk kasus marah-marah yang terjadi diatas,
itu bisa mungkin terjadi, tersebab barangkali diri kita belum benar-benar menyelesaikan
komunikasi dengan diri sendiri, sehingga orang lain lah yang dikorbankan
terkena kebrutalan psikologis kita. Kelihatannya status WA orang lain lebih
sering diperhatikan, jarang kita memperhatikan “apa yang sebenarnya diri kita
cari dan butuhkan selama ini”.
“Ngopi sama dia besok pagi, kalau gak
kesiangan”. Kalimat tersebut jelas bermakna konotatif, yang menjelaskan tentang
sebuah agenda, waktu, dan kesempatan peluang untuk bisa di realisasi-diwujudnyatakan.
Sekarang kita pelan-pelan masuk dalam wilayah membangun komunikasi dengan orang
lain. Kata “dia” dalam kalimat diatas, jelas denotatif menunjukkan makna pihak
lain-orang lain.
Walaupun saya sendiri terkadang kebingungan
untuk mengisi konten apa yang akan dibicarakan dengan orang lain itu, apalagi
kalau orang tersebut berada diluar dari pada jangkauan psiko-sosial kita.
Biasanya yang muncul adalah “bahasa-basi”. Untuk berbahasa-basi pun ternyata
tidak mudah, perlu latihan-latihan rutin, kalau perlu les privat dengan tukang
cukur-tukang becak-tukang ojek.
Hemat saya, bahasa-basi merupakan komunikasi
yang paling menentukan dalam keberlangsungan pembicaraan selanjutnya, sama
persis pentingnya dengan bab pendahuluan karya tulis ilmiah. Bahasa-basi
merupakan kompetensi yang sulit diukur instrumen keberhasilannya, sebab
kompleksitas kebudayaan yang melatarbelakangi setiap orang jelas beragam-aneka.
Namun untuk mensiasati bahasa-basi tersebut, seminimal-minimalnya kita bisa
lakukan dengan bertanya, “sudah ngopi apa belum”. Itu cukup untuk hanya sekedar
merenggangkan otot-otot psikologis kita.
“Kalau perlu bawa kucing peliharaan,biar gak
saling mendahului dalam hal cakar-mencakar”. Kalimat tersebut apabila
dilontarkan terhadap orang yang kurang terbiasa mengkritisi kalimat, jelas akan
diterima dengan mentah-mentah. Kucing peliharaan disini, coba saya maksudkan
sebagai “nilai hidup”. Nilai hidup itu bisa berupa agama, kebudayaan,
norma-norma, habituasi sampai kebiasaan-kebiasaan receh.
Nilai hidup lah yang memprakarsai sampai
mengakhiri sebuah perjalanan komunikasi, pun nilai hidup lah yang menjadi
jembatan penghubung antar hubungan komukasi. Bisa berbentuk hubungan
kenegaraan, keorganisasian, ketetanggaan, kekeluargaan, maupun
keasmara-asmaraan. Guru saya pernah mengatakan, bahwa manusia itu makhluk “kemungkinan”,
berbeda dengan makhluk Alloh lainnya, seperti malaikat, iblis, hewan dan
tumbuhan, yang serba “kepastian”. Kalau malaikat pasti baik, kalau iblis pasti
jahat, akan tetapi kalau manusia itu berada pada dua kemungkinan itu, yaitu
jahat or baik, jadi potensi baik dan jahat selalu melingkupi. Maka kalimat
cakar-mencakar itu jelas merupakan praktek iblis, yang manusia memungkinkan
untuk juga mempraktekannya. Maka jangan lupa membawa kucing peliharaan itu,
yang berbentuk “nilai hidup”, tentu nilai hidup yang bernafas Islami.
“Tahan...jangan sampai ‘me’, walaupun lembaga
cakar-mencakar dan kedai gigit-menggigit selalu tersedia, bahkan
mbalarah-mblarah”. Dalam pelajaran bahasa Indonesia, kata ‘me’ adalah kata
imbuhan depan. Kalau kata ‘me’ itu di imbuhkan untuk hal yang buruk, otomatis
akan buruk juga, misalnya melukai-memperkosa-mencuri, mencakar, menggigit dlsb.
Tetapi sebaliknya, apabila kata imbuhan ‘me’
itu di imbuh-posisikan untuk sesuatu yang baik, otomatis akan baik pula,
misalnya mencintai-merindukan-memberi, memperhatikan, dst. Namun kata adalah
kata, semua tergantung ruang, waktu, dan fungsi. Poin utama dari kata “lembaga
cakar-mencakar dan kedai gigit-menggigit”, itu adalah kehidupan kita,
masyarakat kita. Hal-hal baik kita lihat cukup pesat di-lembaga-kan, namun
ternyata cukup pesat pula hal-hal buruk yang di-lembaga-kan pula.
Makna lembaga disini, bukan hanya dalam
pengertian strukturalis-formalistis saja, akan tetapi lebih dari itu, ialah
kulturalis-nonformalisitis juga, contohnya terlalu banyak kalau disebutkan,
salah satu contoh nyatanya adalah budaya fee sex, free sex, kumpul kebo, korupsi
berjamaah, bullying terstruktur, hastag kebencian, kekerasan verbal-non verbal,
kemiskinan kultural, narkotika, minuman keras, sikat-menyikat hak,
potong-memotong peluang, dst.
“Seminimal-minimalnya, pangkat kemuliaan puasa
kita di bulan non ramadhan semakin kualitatif”. Kalimat tersebut muncul karena
disebabkan oleh kondisi psikis saya yang acapkali bertengkar, ketika melihat
ataupun mendengar pemaparan-pemaparan perilaku hedonis, tubuh sexy, juga
tindakan pejabat yang koruptif, bunuh-membunuh hak, dlsb. Ini benar-benar
hidangan yang bikin nyesek batin.
Ketika menyelami makna puasa secara etimologi
saja sudah mendalam, apalagi secara terminologi, dan apalagi sampai filsafati.
Sederhananya, puasa itu menahan diri. Kalau ada kata menahan, artinya ada
sesuatu yang menarik.
Rasa-rasanya, kegiatan menahan diri ini,
barangkali akan berbeda kepangkatan, apabila situasi dan kondisinya juga
berbeda. Kan tidak fair, kalau-kalau ujian skripsi bisa disamakan dengan ujian
doktoral. Bulan ramadhan pada sebagian episode ceramah yang saya masih ingat,
adalah bulan training-latihan, dan disebutkan bahwa bulan selain ramadhan
merupakan pertarungan tahan-menahan yang sebenarnya.
Untung saya masih ingat wejangan dari orang
bijak yang mangatakan, “bahwa kalaupun ada yang menghinamu ya jangan ikutan
menghina, kalaupun ada yang kumpul kebo ya jangan ikut-ikutan kumpul kebo,
kalau ada yang korupsi ya jangan ikutan korupsi, pokonya yang buruk jangan kamu
ikuti, itu namanya syariat, pokoknya ikut saja sama Alloh dan Rosululloh”,
begitu kata orang bijak itu.
Wallohu a’lam.
Banyumas, 27 Juli 2019.
Comments
Post a Comment