Skip to main content

Dilukai, Melukai, atau Terluka.


Dilukai bukanlah pilihan, apalagi melukai. Itulah dua kata kerja yang paling aku kira, paling dihindari oleh semua orang. Akan tetapi hal tersebut sungguh tidak mudah untuk dihindari. Melukai atau dilukai, bisa terjadi karena perbedaan pengalaman, atau melalui perbincangan yang belum tuntas. Seolah-olah, perlu ada salah satu pihak yang mengklaim bahwa dirinya yang terlukai, padahal belum tentu. Iya belum tentu. Setiap orang yang memiliki hati, tetap akan memiliki potensi terluka secara batin, dari belia sampai tua.

Keterlukaan batiniah kita, kalau saya terawang sepintas sebenarnya terjadi sebab ada jarak yang memisah, yaitu antara harapan dan kenyataan, das solen das sein. Bahasa kilatnya “masalah”. Masalah yang muncul bersifat mega-kompleks, entah itu berangkat dari sudut asmara, keluarga, ataupun pergumulan yang lebih rumit lainnya. Tetapi semua itu, mau tidak mau akan terlewati, suka tidak suka akan terlalui. Sedih, senang, menangis, dan tertawa, semua terbalut dalam lingkaran jiwa-raga, mind and body.

Tentulah, semua berjodoh. Misalnya siang dan malam, persis seperti laki-laki dan perempuan, yang mau tidak mau, saya dan kita harus menerima perbedaan yang ada, walaupun lebih sering kita terpaksa menerimanya. Namun tenanglah sejenak, hidup ini dinamis, bahkan sangat dinamis, acapkali malah bisa jungkirbalik antara cinta dan benci. Sungguh, membosankan adalah teman terbaik dari kegembiraan.

199 words cuitan ini merangkak sampai kepermukaan akal, yang tentu atas dorongan percekcokan dalam hati. Tidak terlalu memperdulikan like dislike, tetapi itu urgen kadang-kadang, minimal untuk menimbang persimpangan jalan mana yang akan kita tapaki kedepan. Walaupun kita semua sudah paham betul, bahwa hidup ini berasal dari-Nya dan akan kembali pada-Nya, akan tetapi energi dan akurasi setiap detik waktu yang terlewati, tetap membutuhkan asupan-asupan material dan imaterial bumi yang kita singgahi.

Perjuangan hidup yang dramatis ini, bahkan yang kerap juga kita mendramatisirnya, akan naik-turun seiring air putih yang kita tenggak setiap harinya. Ketika kegelapan didahului dengan senja, dan ketika keterangan dimulai dari sunrise ufuk timur, itulah bercak-bercak kepiawaian sang pencipta dalam memberi eksplanasi, bahwa hidup ini harus terus dijalani, minimalnya diterima dan maksimalnya disyukuri. Melukai dan dilukai, bukanlah pilihan, itu hanyalah skenario yang terus memuncak dan merayap.

Wallohu a'alam.
Sukoharjo, 2 Juli 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-