Hari-hari yang dilalui Simad akhir-akhir ini, bisa dibilang kacau. Simad ini merupakan seorang pelajar tingkat tingkat tinggi, dalam kacamata formal pendidikan. Walaupun secara kompetensi dan kapasitas intelektualitasnya, masih dibilang sangat minimalis, jika dibanding dengan kawan sebayanya. Akan tetapi, ada salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Simad, ialah mampu siap sedia untuk terus belajar. Belajar dengan siapapun, menggunakan media apapun, dan dilakukan kapanpun dan dimanapun. Itu berkat ia, selalu ingat apa yang disampaikan oleh gurunya, bahwa “semua hal harus di-sinau-ni”.
Dalam sebuah klimaksitas keruwetan pikiran dan perasaan, Simad menemukan sebuah kesempatan untuk ikut serta mengikuti sebuah agenda. Agenda tersebut, kebetulan tidak membatasi kriteria umur, latar belakang ormas, pilihan politik, kelas ekonomi, apalagi profesi. Jadi semua lapisan keadaan diperbolehkan untuk ikut serta. Simad yang cukup intens dengan gadget, kemudian mengajak Sidul untuk juga datang dalam acara tersebut. “dul, ayo datang ke acara ini”? chat Simad ke Sidul, sambil melampirkan poster acara itu. “oh iya, ayo..tapi agak maleman ya, soalnya aku masih diperjalanan”, jawab Sidul melalui gadget jadulnya. Pada akhirnya, sekitar hampir tengah malam, mereka berdua pun bertemu di rumah makan padang, untuk kemudian sama-sama menuju lokasi acara.
Sesampainya dilokasi, mereka berdua bergegas mengeluarkan kreteknya. Mungkin itulah mekanisme pertahanan diri mereka, dalam rangka melawan serangan nerveus. Sambil ngobrol-ngbrol bahasa-bahasi, dengan peserta acara lain yang didekatnya. Sembari menanti acara dimulai kembali, yang mana ketika Sidul dan Simad datang, acara sedang break.
Selang beberapa menit, acara pun kemudian dimulai kembali. Acara memasuki tahap inti, Simad yang memiliki hobi menulis, lekas cepat-cepat mengeluarkan gadgetnya untuk mencatat poin-poin yang ia duga penting. Satu persatu poin mulai tergores oleh ibu jarinya, dilayar monitor gadgetnya. Sedangkan Sidul dengan khusyuknya, menyimak setiap kata, frasa, klausa, dari para pengisi acara. Acara itu pun dilengkapi dengan kopi hitam dan iringan musik klasik blasteran Jawa-Arab. “Pokoke joss banget kiye!”, batin Simad dalam hati kecilnya. Seakan-akan seperti menemukan kebahagiaan yang dulu hilang, kini kembali pulang.
Malam yang lumayan dingin itu, seakan-akan tidak mengganggu keasyikan peserta acara. Ditengah keasyikan para peserta lainnya, Simad tetap fokus memegang gadgetnya. Bukan untuk membalas wa dari temannya, melainkan konsisten untuk tetap mencatat poin-poin yang ia duga penting, seminimal-minimalnya sesuai kepentingannya sendiri.
Simad melotot saat salah satu pengisi acara berkata, “hidup kita ini, akan selamanya bersinggungan dengan poin norma, poin ekonomi, dan poin politik. Maka tugas kita adalah menyeimbangkan ketiga poin diatas. Namun ingat, bahwa tiga poin diatas, tidaklah melulu linier satu tambah satu sama dengan dua, akan tetapi bisa jadi siklikal satu tambah satu sama dengan 50, maka diperlukan manajemen resiko, serta analisa kritis kuantitatif dan kualitatif”.
Kemelototan Simad berakhir, sesaat setelah Sidul melontarkan ujaran kemesraan, “hidup ini mengalir lembut ke ujung mata”. Entah apa yang ada dalam imajinasi Simad, yang jelas ia konon di takdirkan menjadi sosok yang introvert berkecenderungan plegmatis, ber-tempramen air. Jadi, dalam perilaku overt-nya, kelihatan tenang, namun menyimpan kedalaman. Bisa jadi berisi lumut-lumut penderitaan, mungkin saja bermuatan tumpukan kekecewaan. Yang jelas, ia bukanlah satu-satunya anak muda Indonesia yang akan memimpin peradaban, 5-10 tahun yang akan datang. Simad benar-benar paham, kalau-kalau hari ini, suhu tubuh bangsa sedang memanas. Ia hanya memilih untuk menepi sementara dari geliat pemikiran dan praksis kehidupan, semata-mata untuk mengambil jarak peradaban, sebagai ancang-ancang menentukan arah gerak kepulangan.
Wallohu a’lam.
Surakarta, 30 September 2019.
Comments
Post a Comment