18 Agustus 2019, saya menulis judul kecil
dalam note. Judul kecil itu berbunyi “Menagih Diri”. 18, 19, 20, 21, satu, dua,
tiga, hari sudah saya absen menulis artikel bebas dalam blog pribadi saya.
Rupa-rupanya beberapa teman “menagih” untuk saya kembali menulis. Tidak
spesifik apa yang mereka dapatkan dari apa yang saya tulis itu, namun paling
tidak, saya bisa menangkap pesan dari tagihan itu, yaitu berupa nilai tinggi
dari sebuah kebermanfaatan.
Menagih diri menjadi sebuah judul yang saya
sisipkan pada tanggal 18 agustus itu, ternyata mengandung beberapa aspek.
Pertama, memberi tarikan kepada pikiran dan perasaan untuk seminimal-minimalnya
diutarakan dalam bentuk narasi. Kedua, mengundang metabolisme tubuh untuk
kemudian digerakkan dalam wujud aksi nyata mekanisme aktivitas keseharian.
Ketiga, menyuarakan pada batin terdalam untuk kembali membangunkan akal dan
hati, dalam lingkup mewujudkan cita-cita yang perna terrencana.
Berangkat dari ketiga poin diatas, saya
kemudian teringat dengan matematika kehidupan, atau lebih tepatnya logika alam;
bahwa apabila kita memiliki cita-cita membuat teh manis, maka kita perlu
menyiapkan teh mentah dan gula, untuk nantinya sama-sama diseduh dengan air
panas, itu analogi sederhananya.
Namun kehidupan tetaplah kehidupan, yang
jelas-jelas bukan hanya berisi tentang logika satu tambah satu sama dengan dua.
Masih ada aspek lain yang serba tidak pasti, dan serba menyimpan relativitas.
Kadang ada “iya” yang “tidak-tidak”, kang juga ada “tidak” yang “iya-iya”, pun
ada “iya-iya” tapi “tidak-tidak”. Semua serba dinamis dan elastis, juga
ber-irama ritmis nan romantis.
Kembali kepada terminologi “menagih diri”
diatas. Bahwa kita lebih banyak memperoleh kesimpulan yang “koma”, pada setiap
perjalanan hidup. Dari mulai per-detik sampai per-dekade, sangat mungkin untuk
naik turun bagai undar-undar di pasar malam. Selalu menyisakan harapan baru
yang bermunculan, pula mencipta harapan lama yang menyelinap hendak menempuh
jalan keluar.
Hal-hal yang berkaitan dengan abstraksi
kehidupan diatas, tidak bisa tidak untuk senantiasa dilalui, entah suka maupun
kurang suka, entah lama atau barang sebentar. Menagih diri tidaklah sama dengan
menagih hutang. Dalam menagih hutang hanya terdapat transaksi yang statis,
misalnya 10 ribu dibayar 10 ribu, namun tidak pada menagih diri. Menagih diri
lebih luas dan kompleks, misalnya 10 ribu sangat bisa dibayar dengan
“kata-kata”, bukan angka-angka.
Kemunculan frasa “menagih diri” tidak serta
merta dapat di damaikan dengan menghela nafas panjang, akan tetapi dibutuhkan
kuda-kuda batin yang seimbang. Kalau perlu di siapkan kuda-kuda perasaan yang
akurasinya mampu menembus relung waktu.
Menagih diri itu eksplisitnya berkaitan dengan
tawar menawar diri. Butuh waktu seumur hidup untuk menafsiri apa itu diri.
Namun kita bisa menyicilnya dengan interpretasi sederhana, yaitu diri yang
punya obsesi, atau diri yang memiliki cita-cita murni. Cita-cita murni ini,
sangat universal dan bebas nilai (free value). Bisa berkaitan dengan aktualisasi,
juga bisa berkaitan dengan kecenderungan dasar kehidupan.
Pada akhirnya, untuk menutup artikel ini, saya
punya pesan kepada teman-teman yang masih punya “diri”. Satu-satunya pesan itu
adalah; mari kita kembali ke “diri” yang sejati. Sejati artinya bersedia
berterus terang pada setiap pengembaraan, yang pengembaraan itu selalu berada
pada lingkaran yang maha sejati. Mudah-mudahan kita mampu kuat berada dalam
agenda besar ini, seminimal-minimalnya kita sanggup enjoy your life
dalam sanubari semesta raya.
Wallohu a’lam.
Banyumas, 21 Agustus 2019.
Comments
Post a Comment