Sukoharjo 14 Juli 2019. Ketika
saya sedang berkutat dengan tugas perkuliahan pada malam hari di kos, waktu
yang pengap pada akhirnya memaksa saya untuk keluar mencari udara segar.
Kepergian saya memutuskan untuk singgah di kontrakan anak-anak Nusa Tenggara
Barat (NTB) yang kira-kira saya tempuh selama 5 menitan. Setibanya di kontrakan
yang pernah 2 kali saya kunjungi tersebut, sambil membuka laptop dan
melanjutkan tugas kuliah yang masih tercecer oleh dead line esok hari, tidak
sengaja saya ikut menyimak pembicaraan 2 orang mahasiswa asal Indonesia timur
yang ada di depan saya, kira-kira 1 meter jaraknya. Mereka ber-2 terlihat
serius membicarakan sesuatu.
Setelah saya telaah pembicaraannya, ternyata
mereka sedang membicarakan perihal kontrakan. Ternyata, kontrakan yang mereka
tinggali adalah aset dari pemerintah daerah NTB. Anak-anak yang kuliah di Solo
tersebut, ternyata menjalin kerjasama yang cerdas dengan pemangku kebijakan di
NTB sana. Cara menjalin kerjasamanya cukup sederhana, yaitu dengan membuat proposal
yang isinya mengenai kebutuhan-kebutuhan hidup, salah satunya tempat tinggal
yaitu kontrakan.
Proposal tersebut diajukan kepada pemerintah NTB, dan alhasil
ACC, disetujui. Pembicaraan mulai menghangat, salah satu dari mereka pun
menceritakan bahwa di Yogyakarta terdapat pula tempat tinggal bersama, yang
diisi oleh mahasiswa NTB pula, di Jogja malah justru lebih besar, konon asetnya
sampai ratusan juta. Anak-anak NTB yang saya jumpai, menamakan diri mereka
sebagai Ikatan Mahasiswa Sumbawa Barat (IMSB).
Dari rangkaian cerita tersebut,
kemudian terlintas dalam pikiran saya, bahwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) pun perlu melakukan analisa kedaerahan, yang bukan hanya sekedar kumpul
ngopi-ngopi, ngobrol tempat tinggal, namun tidak membuahkan hasil yang produktif,
salah satunya adalah membuahkan tempat tinggal yang permanen, sebagai tempat
berkumpul dan berbagi kesedihan dan kebahagiaan bersama. Kebersamaan yang
cenderung lama, dalam sebuah tempat tertentu, dapat dengan cepat mengakrabkan,
mendekatkan, merekatkan, yang kemudian tercipta kasih sayang.
Bukankah konsep
Masa Kasih Sayang (MAKASA) atau Masa Ta’aruf (MASTA), merupakan konsep
perkaderan yang pertama? Inilah sebuah fakta yang baik untuk ditindaklanjuti
secara serius oleh para kader IMM, sebagai forum perkaderan berbasis
kedaerahan. Ini merupakan peluang strategis yang harus diambil. Fakta yang
tidak kalah pentingnya terjadi pada Ikatan Alumni Masdrasah Wathoniyah
Islamiyah (IKAPMAWI) Yogyakarta.
Dimana beberapa anggota yang telah ikut
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), meng-kader lulusan Madrasah Wathoniyah
Islamiyah (MWI) yang menjadi mahasiswa baru di Jogja. Data menunjukkan
lebih-kurang 80% nya bergabung dengan HMI. Zaman media sosial seperti pada saat
ini, sangat memudahkan kita dalam menjalin relasi yang luas dan kuat antar
sesama, salah satunya kepada teman-teman yang berasal dari daerah yang sama,
seperti IMSB. IMSB menurut hemat saya, telah membuktikan jalinan romantis
dengan pemerintahnya.
Peran-peran seperti hal diatas, masih jarang saya temui,
artinya ini adalah salah satu ruang kosong yang wajib diisi oleh
praksis-praksis yang terstruktur, masif, dan sistematis, oleh pejuang-pejuang
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di seluruh pelosok negeri.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 17 Juli 2019.
Comments
Post a Comment