Penderitaan dan tekanan batin masyarakat Indonesia, bukan lagi hanya banyak, namun sudah sampai titik bebal paling njaremi. Memang kalau ngomongin tentang masalah kehidupan, entah itu soal ekonomi yang carut-marut, hukum yang semakin bias, komersialisasi pendidikan, sampai tata kelola politik yang ambyar, dslb., tidaklah pernah kunjung menemui angin segar.
Belum tuntas satu masalah, sudah bermunculan sejuta masalah. Kalau dalam konsep agama, setau saya, hidup itu berbanding lurus dengan masalah atau ujian, dan masalah atau ujian itu berbanding lurus dengan pahala. Akan tetapi, sebagai manusia yang dibekali potensi pikiran, hal tersebut tidak kemudian dijadikan alasan untuk jor-joran. Agama mewanti-wanti pemeluknya untuk tawa sow bil haqi wa tawa sow bis sobr (lihat, QS. Al-'Asr).
Sepak bola nasional yang babak belur, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang problematis, kabut asap yang nggilani, pengangguran yang semakin merata, dan sederet problema-problema yang memberikan seribu satu tekanan lainnya, sungguh-sungguh perlu di tarik benang merahnya, sebenarnya, apa, siapa, dan bagaimana menjawab seluruh problem tersebut. Seminimal-minimalnya dapat memberi keringanan atas beban-beban yang menancap ke relung hati terdalam itu.
Kita semua saya yakin sudah tahu betul, bahwa segala tindakan itu berasal dari dorongan hati (yang bisa baik dan bisa juga buruk), kemudian di menej oleh pikiran atau akal, lalu terucap oleh mulut, yang selanjutnya mewujud menjadi karakter, dan kemudian melahirkan kebudayaan. Namun apakabar dengan elite-elite di Negara ini? Apakah mereka betul-betul tulus memimpin arah menuju kebaikan kolektif? Atau hanya mengamankan diri dan kelompoknya? Atau bisa lebih parah, yaitu dengan sengaja menghancur-leburkan masa depan generasi?
Sesungguhnya, problem kita ini apa? Apakah menyangkut pendidikan karakter? Apakah perihal ekonomi Pancasila? Apakah terkait gaya tata Negara? Atau soal kebrutalan lubang perut? Atau soal kebiadaban bawah perut? Bisa-bisa terkait semua itu? Kok lama-lama makin kacau saja.
Persoalan-persoalan diatas itu, serta pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut, memang memiliki ruang dan waktu delay, serta mempunyai limitasi, untuk sesegera mungkin diselesaikan dan dijawab satu persatu. Akan tetapi bukan kemudian dapat di enyahkan begitu saja.
Kebenaran dan kesabaran mem-proses itu semua, hendaknya wajib kita hadirkan. Benar itu memiliki konotasi ketegasan. Sedangkan sabar itu, mempunyai konotasi ketahanan. Sederhanya, kita ini harus punya kesadaran “tegas”, sekaligus kesadaran “tahan”. Cuma sayang beribu sayang, apabila yang kita tegasi dan kita tahani itu adalah pihak lain, bukan diri kita sendiri. Dan, akan sangat sia-sia, andaikan yang kita salah-salahkan itu adalah pihak lain, bukan diri kita.
Ma ashobaka min hasanatin fa mina Alloh, wa ma ashobaka min sayyiatin fa mina nafsika (Lihat, QS. An-Nisa: 79).
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Alloh, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.
Bencana alam, bencana politik, bencana hukum, bencana timnas, bencana korupsi, bencana sekolah/kampus, bencana narkotika, bencana miras, bencana seks bebas, bencana kekayaan, bencana pembunuhan, dan segala wujud nyata bencana lainnya, sangat mungkin kita yang merekayasanya dengan sengaja. Mungkin perspektif saya salah, akan tetapi itulah kenyataan yang sedang kita hadapi.
Segala macam dan jenis bencana yang kita hadapi itu, tidak untuk kita hindari, tetapi harus kita bersama hadapi. Kita nampaknya perlu public healing, serta mitigasi, berupa puasa untuk tidak mengalahkan orang lain, melainkan mengalahkan diri kita sendiri. Diri kita yang ter-butakan oleh kekayaan, kepintaran, dan kepopuleran.
Wallohu a’lam.
Sukoharjo, 16 September 2019.
Top
ReplyDeleteaamiin 😁
ReplyDeleteKeren. Tulisannya ngena bgt.
ReplyDeleteKalau berkenan mohon krisannya dong kak untuk tulisanku di Cerita Alister N. Makasih 🙏🙏
Tulisan tulisan mu di Cerita Alister N. keren, lanjutkan.
ReplyDelete