Skip to main content

Posts

Showing posts from 2020

Terpapar Nietzsche

Masih meraba-raba apa itu yang di sebut puncak. Perlu sekiranya, untuk kembali mengajak nalar dan nurani lebih bergegas merevitalisasi, apapun saja. Acapkali, percaturan berubah sedemikian cepat, memaksa nalar untuk meng-gubah strategi, apapun saja. Akan tetapi sungguh, kegelisahan dan ketidakteraturan adalah saudara kandung kawula muda, yang didalamnya mengadung unsur-unsur yang harus sedari dini di susun menjadi naskah petunjuk, untuk  sampai pada penemuan puncak yang paling presisi.

Rekomendasi Resolusi 2021

Kecenderungan untuk menambal-sulam keadaan, merupakan hak alamiah tiap-tiap manusia. Beberapa hal memang terpilih untuk dipertahankan, ditengah masa yang terus mengalami perubahan, baik yang bersifat radikal ataupun yang perlahan. Dalam rangka menambal-sulam yang disangka perlu tersebut, manusia memiliki ragam pertimbangannya. Semua pertimbangan tersebut, berangkat dari pengalaman ketercapaian dan ketidaktercapaian, sekaligus. Untuk sampai pada pilihan merubah tersebut, manusia tidak mungkin akan terlepas dari dua faktor besar, adalah; faktor personal dan situasional.  Yang personal, kecenderungannya lebih kepada konsistensi sifat, sekalipun yang personal ini pada awalnya terbentuk dari situasional, konteks dimana ia tumbuh. Melihat akhir tahun ini, mayoritas manusia mulai kembali mengadakan resolusi untuk tahun yang baru. Ada resolusi yang sifatnya umum saja, pun terdapat yang men-detail. Dari sekadar merubah merubah gaya rambut, sampai merubah haluan prioritas. Syahdan, hal-hal d...

Teater Berhari

Jalanan sesekali terjal, sesekali lapang Dibuatnya kendali penuh, pun terjengkang ceroboh Orang-orang beranjak bangun, menjalani rencana hari-hari Ada yang tetap mempertahankan, beberapa mereka gubah

Dikotomi

Apalah mau kata,  kehabisan tanya kelebihan tugas rumah tangga Hmmmmm.... Akankah semua ini bisa menjadi lebih berwarna? Ketika satu persatu pun, tak lagi senyawa

Kehabisan Tanya (Puisi)

  kemana lagi aku harus mencari, mengejar yang tak pasti itu dimana sebenarnya letak tujuan yang abadi, sebelum mati dahulu begitu, sekarang begini, berubah tak berkendali apa jawabnya? Sedang disini tak ada Tanya  

Kalau Boleh

 Dik, aku pernah patah, dengan sepatah patahnya patah aku pun pernah terluka, dengan seterluka terlukanya luka Maka dik, ijinkan aku mengalaminya kembali bersamamu, meskipun rasanya tentu tak sama sebangun

Dari Kekasihmu

Kekasih, mengapa engkau berikan makna itu teramat dalam hingga nafasku,  sesak oleh ingatan, perihal aku dan kau Kekasih, aku pun mengingankannya, tentang ketegaranmu menyapu suka duka,  tentang caramu mencabuti berseraknya arti yang sempat ada

Belum Genap Manusia (6)

Rasa itu tumbuh, begitu saja. Seperti air mengalir menuju tempat yang lebih bawah. Tentu, akan ada banyak penjelasan tentang itu. Pun, kelogisan yang menyerta nampak tersedia. Ketika manusia mencari kejelasan ditengah kerumitan, kadangkala tidak kemudian mudah ditemukan. Meskipun, itu bukanlah sebuah kemustahilan. Barangkali, semua manusia telah mengerti, bahwa akan dijumpainya lebih banyak sisi-sisi yang memang tercipta hanya sebagai teka-teki. Sekalipun, kendali untuk menemui "jelas", ada untuk diulas.

Penyayat Prasasti

Dalam lengkungan nada, kita bergumam cerita Tentang rahasia, kabar berita, sampai cinta Dalam petikan nada, engkau menyambut tawa kita sama-sama berkelakar ceria Diantara dentuman pianika, aku bersandar padamu, engkau pun bersandar padaku Semua indah, semua lepas sekalipun perih menyayat letih

Terpaksa Berdiri (Lagu)

Terpaksa Berdiri (Lagu)  Cipt. Dimas Rahman Rizqian Intro.. Aku pernah hancur dan berdarah Semua sirna oleh kesalahan Tapi 'ku masih coba bertahan Menanggalkan semua yang tlah hilang Kini berusaha menjalani Kisah baru tanpa pernah tau Namun apa daya ku lakukan Engkau masih jadi yang terdalam

Belum Genap Manusia (5)

2020 hampir selesai, peradaban semesta akan segera menuai 2021, yang tentunya dengan problematika baru. 2020 ini, kita mengalami pengalaman yang sama sekali tak terprediksi. Sekaliber rencana, terpaksa improve secara alami. Mungkin akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana resolusi tahun baru akan indah kita canangkan. Konsepsi umum sampai men-detail, cepat-cepat dituangkan, sebagai pijakan mengarungi bahtera perjalanan.

Belum Genap Manusia (4)

Ketidakberdayaan terkadang mampu menumbuhkan pemberdayaan, sekalipun itu tidaklah beriringan secara langsung. Kami tersambung oleh persamaan, untuk tidak berlebihan meraup kemerdekaan. Hingga beberapa dari mereka salah menyangka, bahwa kami sekadar malas berjuang demi angka.

Belum Genap Manusia (3)

Berusaha mengeluarkan isi pikiran kedalam sebuah tindakan, bukanlah sesuatu yang mudah. Terlebih, bila pada suatu waktu, komponen pendukung, misalnya orang sekitar, tidak menaruh respon yang tepat. Baik secara verbal, maupun yang bukan verbal. Beberapa efek domino dari menahan isi pikiran untuk tidak keluar menjadi tindakan, bisa menjadikan seseorang kuranga menikmati hidupnya, sampai mungkin saja berimbas pada gangguan psikosomatis.

Belum Genap Manusia (2)

Dalam beberapa bagian, ketegangan antar sesama bisa memuncak. Pembenaran atas ini, berangkat dari relasi historis yang dimiliki. Misalnya, kecerobohan ataupun kedisiplinan yang mereka alami sebelumnya. Sangat mungkin, dalam beberapa sesi pun demikian. Katakanlah hubungan bagian-bagian esensial atas idiom "peduli". Entah yang bertujuan khusus, ataupun sifat-sifat yang sama sekali alamiah.

Belum Genap Manusia (1)

Menjalani rangka hidup yang masih serba abu-abu, bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Bagi kami, menertawakan kemalangan diri sendiri, semacam rutinitas yang paling logis dan realistis untuk dilakukan.  Terlebih, untuk sebagian dari kami yang seolah tak lagi memiliki keberanian untuk berbagi cerita kepada sesama. Mungkin, terlalu banyak pertimbangan bagi kami, untuk mencoba (kembali) kecewa terhadap respon nasehat yang terlampau mulia dari lawan bicara.  

Kemewahan Terakhir

Selalu ada harga yang wajib dibayar (hampir), dari sebuah rentetan garis mimpi. Dari waktu, pikiran, perasaan, tenaga, sampai hal-hal yang mungkin berpotensi memiliki harga lainnya. Dari harga yang mesti dibayarkan, tidak selalu berbanding lurus dari jawaban impian. Terkadang, malah meleset jauh dari harapan. Kenyataan memang sesekali kejam, namun ada juga yang betul-betul lebih memuaskan, dari sekadar target impian.

Pemilahan Kalimat Jawab

Beberapa sandiwara, ataupun kekakuan perjalanan hidup, cukup terlalui dengan derajat gamang. Apakah semua manusia pernah mengalaminya, atau sekadar hanya beberapa saja? Babag hidup selalu mengarah kedepan, sekalipun pelajaran mesti berangkat dari titik belakang. Namun, kosa kata "disini dan saat ini", menjadi salah satu kunci yang menghinggapi beberapa kepuasan.

tribute

Kesediaan untuk membuka lembaran baru dalam hidup, (hampir) selalu harus melewati kegelisahan yang memuncak. Gelisah pasti dilekati oleh kesedihan, sampai dengan krisis multidimensional. Dari yang (mungkin) sederhana, sampai yang kompleks. Kegelisahan semacam pecut hukuman, yang hadirnya lebih ke hal-hal yang tidak terpredikai sebelumnya.

Karat

Adakah yang lebih menggema,  dari sentuhan perhatianmu Kemana ia, yang sempat hadir menjadi kagum dan bangga Mungkinkah, terdapat busur tatap yang terkandung makna,  bersama lesatan panah percaya

Yth.

Entah apa yang tengah engkau cari akhir-akhir ini, sepertinya waktu menggilasmu sedemikian kusut. Rutinitas terasa menjemukan, beberapa time line kau siakan. 

Proyek Ingatan

Masa-masa saat ini, manusia secara mayor, dibawa oleh alam untuk mengalami ketidakberdayaan eksistensial. Sampailah kini, para penduduk bumi menginjak fase-fase tersulit, yang unpredictable. Sebagian kalangan, memang tidak merasakan dampak domino dari letupan covid-19. Namun, keberlangsungan krisis ini benar-benar sanggup mengelupas habituasi yang cukup mapan.

Bentangan Laku

Dalam rentetan perjalanan hidup manusia, banyak terdapat jejak-jejak kesamaan, sekaligus perbedaan. Misalnya, kebutuhan biologis atas lapar, sama-sama bertujuan demi memenuhi kebutuhan sel-sel tubuh. Sedang perbedaannya, ada pada preferensi menunya. Dalam rangka melanjutkan tanggungan berbagai "masalah" yang manusia hadapi pun, mengandung kesamaan, yang pada  akhirnya pun, terkandung perbedaan. Dari persamaan dan perbedaan "sederhana" inilah, muncul berbagai "masalah" berikutnya. Kecenderungan manusia untuk memilih kesamaan dari pada perbedaan, telah banyak dibuktikan oleh para ilmuwan. Tentu, dengan titik tekan, sekaligus dengan menggunakan peta ulasan yang beragam. Meski begitu, kodrat "unik" dalam diri manusia, tetap saja tidak bisa dinafikan. Baik sebatas konteks dan teks, maupun historisitas latar belakangnya. Ditengah "kesunyian" yang mau tidak mau dijalani oleh tiap-tiap manusia (sekalipun ia tengah berada di khalayak ramai), neg...

Ketegasan Simbol

Kelengkapan atas penjelasan pada suatu hal, mesti menyisakan ruang hampa makna. Sekalipun ada beberapa hal yang kemudian menjadi konsensus bersama, itu pun tetap tidak menangkap senyatanya presentasi kehendak. 

Adaptasi Interest

Kekecewaan publik sedang meradang, sekalipun belum menjangkau seluruh elemen. Jika diakumulasikan kedalam nalar awam, terdapat titik besar; adalah kekhawatiran efek domino terhadap kebebasan kompetisi pasar. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kompetisi akan selalu dimenangkan oleh mereka yang telah bersiap dari segala sisi. Maka otomatis, mereka yang menyatakan belum bersiap, akan mengajukan protes.

Pemenang Perang

Mata manusia melebar, sesaat setelah fakta menyenangkan diakuisisi oleh persepsinya. Sebaliknya, mereduplah matanya memandang buruknya fakta. Dikotomi perjalanan hidup manusia, yang tak terperikan oleh kecanggihan teknologi apapun. Keriuhan sejarah manusia hampir (mungkin), menuai seluruh segmentasinya. Dari sekadar guratan primer-biologis an sich, sampai hal-hal yang benar-benar tersier ditemukan oleh makhluk ber-akal ini. Semua terasa begitu cepat, ketika literatur-literatur sejarah dikupas dan diulik oleh para futurolog.

ber-Laku Dasein

Saat manusia tengah menjalin interaksi dengan manusia lainnya, entah dalam perkara makro ataupun mikro, mesti selalu ada ketidaklengkapan penangkapan maksud dari apa yang di interaksikannya. Kita sama-sama pernah mengalami, bahwa ketidaklengkapan benar terjadi, ketika terdapat pengulangan kalimat, ataupun bahasa tubuh. Interaksi manusia dengan manusia lainnya, memang ber-relasi erat dengan pengalaman dari pelaku interaksi itu sendiri. keber-relasian tersebut, memungkinkan terjadinya kelengkapan konten interkasi, yang kemudian mampu menghadirkan kemungkinan kecil dari disharmoni.

Ilmuwan Remang-Remang

Semua tradisi keilmuan dalam wilayah akademis maupun non akademis, memiliki sisi-sisi yang berjenjang. Hematnya, dimulai dari segala jenis "apa", beranjak ke beragam tema "mengapa", sampai pada derajat macam-macam "bagaimana". Titik puncak kepuasan keilmuan seseorang, secara mayor berada dalam posisi kebergunaannya. Posisi kebergunaan tersebut, bisa yang berpihak pada "enak" mutual, atau sekadar enak "individual".

Sebat Metafisika Cinta

Nama Arthur Schopenhauer; mungkin dikalangan ketimuran, masih asing terdengar, ketimbang nama-nama seperti Plato, Aristoteles maupun Al-Ghozali, dan seterusnya. Namun, cukup menarik jika kita mencoba melihat bagaimana dia mengeluarkan gagasannya berupa "metafisika cinta". Schopenhauer, memberi eksplain berkisar antara tunduknya (subordinasi) suami pada istri, orang tua pada anak, individu pada spesies. 

Sebelum Yang Rigoris

  Seiring dengan “tidak” membaiknya kondisi pandemic per-2020 akhir-akhir ini, membuat pelbagai lapisan kebudayaan berekspresi sebegitu ragamnya.  Lingkup komunal yang bervariasi pada penekanan berhadap-hadapan eksistensial secara langsung, kini ber-sentra haluan menjadi serba virtual. Tentu, implikasi dari hal tersebut, memuat sisi-sisi kenormalan yang kongkret, tercerabut.   Keluasan dan keleluasaan pada interaksi “tak langsung”, pada satu sisi bersifat melenyapkan muatan komplementer behavior . Mimik dan intonasi, sebagai pilar dari konteks, semacam kehilangan genuine-nya.  Semua jenis interaksi, (pada titik tertentu sebagian), menjadi serba menyempit. Hal itu, menjadi penanda berkelanjutan, bagi perkembangan bias kognisi.  

Lokasi Transenden

Pada era krisis yang tengah manusia alami akhir-akhir ini, terdapat keterkejutan sikap sekaligus perilaku, yang sejatinya sama sekali baru. Sikap sebagai modalitas berperilaku pada manusia, bersifat reaktif terhadap perubahan “cuaca” zaman. 

Tapi Kita

Aku buatkan sajak untuk adinda, diantara kosong yang paling mengada  Aku sisipkan sajak untuk adinda, ditengah gelisah yang melabuh sedia Vi, Yang pahit bukanlah kopi, tapi kita Yang memilih berjarak,  padahal dekat Yang memihak bisu, padahal bersorak ***Banyumas, 21 Agustus 2020.

Repihan Nama

Mi, kemarin sempat muncul jeda di Surakarta Kami menatapnya, ia hening Lalu,  gambarmu larut di selanya Dengan jelas kami melihatnya, ia diam Dan, sabdamu nyaring di dada kepala Kami ringkas memeluknya, ia gusar Harapku, sampaikan saja apa adanya Bila perlu, sama sama kita lunasi nestapa Mi, Sampai malam disini, belum ada refil kalimat kata, semua lebur digulung ombak selatan sana ***Kebumen, 16 Agustus 2020.

Karma Lanjutan (2)

 Ada yang berbeda,  dari ragamnya wajah berlalu Titik sutra beralun sayup, mengandai disekitaran sisi Tak mampu kutahan rasa swarga, melintas begitu saja Panorama menggelisah warna Asam manis menyatu, mengada yang tak biasanya Sulit menggusar telinga Tumbuh harap memalsu, tertahan api jiwa  Angin tak lagi angin, dik Sunyinya, tak lagi kudengar Sunyinya, tak lagi kujamah Mampuku sekadar menjilati wangimu Sedang, alam membabi buta menyebutmu Merangkai biasa menjadi hitam hitam petikan nada Seloroh di dada, mengantar pergi menuju pulangnya Akar janji, hadir menguji ***Solo, 14 Agustus 2020.

Karma Lanjutan

Ranjau paku ditanam dalam berbagai sifatnya Menginjak salah, tak menginjak pun keliru Terinfeksi asing, terinfeksi pun normal Roda tidak lagi berputar, ia menggelinding melindas yang terlewatinya Bukan hanya memadat di sekitaran, dirinya menjadi bagian Wajar disana, sekaligus tabu disana Riuh disini, sunyi sekalian disini Alam membunuh yang diam, alam membunuh yang bergerak Jagat menebas yang keliru, jagat memenggal yang benar Duduk bersanding koheren, duduk bersanding paradoks Sesekali, terlentang memandang bintang Sesekali, terlentang menatap hujan Berdukalah ia, merasakannya memikirkannya menjalaninya Berbahagialah ia, merasakannya memikirkannya menjalaninya Kita ingat untuk dilupakan Kita lupa untuk diingatkan Disini, badai tak lagi badai pelangi bukan lagi pelangi Disana, pun sama Yang, ini  Yang, itu Yang,  mana ***Solo, 12 Agustus 2020.

Manusia Manusia Semacammu (8)

Hampir selalu ada kerangka pekat, yang tak mampu di cerna oleh nalar. Sejenis puzzle, namun tak berwajah runtut. Mirip dengan silogisme, tetapi absen dari konklusi.  Beberapa manusia, kami yakin sempat menjadikan hal tersebut titik tekan permenungannya. Adalah mengenai pertanyaan yang dimunculkannya, disusul dengan jawaban yang disertakannya.  Sekalipun pertanyaan itu tidaklah hidup sebagai anima, tetapi ia tidaklah mati sebagai anima pula. Pertanyaan hidup sebagai karpet merah manusia, menjembatani apa saja yang menurutnya mampu memberi pengantar menuju jawabannya. Sesekali, pertanyaan sekadar bertahan dalam kutat struktur kepala penggunanya. Dari sekian banyak hologram alam yang berkelindan di jagat ini, mesti kami temui pelbagai bentuk dan sifat yang mencolok jiwa. Kepala-kepala berisi gelisah, yang lain dari pada yang lain. Guratan-guratan wajah yang sama sekali berbeda, dari satu dengan tatap ke pandang berikutnya. Sementara kami terkecoh akan fatamorgana alam, mereka-mer...

Melawan Persinggahan

Ruang tamu kita,  kerdil  ditumbuhi jamur dari barat, sesekali seekor nyamuk mengintipnya Tuan dan puan, tak lagi tertarik berduyun simpul mereka terjun bebas di alam sutra, berkelahi melawan persinggahan Nasib berarah ujung tanduk, semacam puncak nir dari kata jelas Perahu hanya ia tatapi, sembari mengingat-ingat bahwa ruang tamu disana ditertawai tokek dan cicak  Ia miskin dan termiskinkan Ia bodoh terbodohkan Ia kalah terkalahkan ***Solo, 8 Agustus 2020.

Manusia Manusia Semacammu (7)

Sebagai bagian manusia yang mencintai keseimbangan, kami terkadang harus memaksakan diri untuk mengikuti perkembangan wacana, salah satunya mengenai pembahasan gender. Bila di akumulasikan, ternyata kami lebih sering mempelajarinya dari sudut pandang empiris, bahasa lainnya terjun langsung. Lebih sedikit belajar langsung dari literatur macam jurnal. Titik tekan pada wacana gender, bertolak dari pencariannya terhadap "peran" pria dan wanita. Walau dari kesejarahannya wanita kerap menjadi "korban", akan tetapi sejatinya tidaklah demikian. Argumennya sederhana, ialah tentang dominasi pria atas kesempatan lebih untuk bergerak "diluar". Meski jauh dari kata valid, kami tidak gegabah untuk main truth claim. Toh, pendidikan kami tidak memberdayakan sepenuhnya, kecuali pada sisi-sisi tertentu saja. Kami dibiasakan mandiri mencari, disalahkan saat keliru, dicampakkan ketika berbeda pemahaman. Seperti pada umumnya yang terjadi pada organisme sosial terkecil macam ke...

Manusia Manusia Semacammu 6)

Sebagai manusia yang kerap memalingkan pembicaraan, mereka tidak serta merta kurang kompatibel dalam memahami konten soal. Asumsi yang paling general biasanya meliputi dua hal. Pertama, terkait kepentingan dan kepedulian. Sedang kedua, berkelindan antara relevansi dan jam terbang.  Dua asumsi tersebut, cukup untuk menambal rasa penarasan umum. Sekalipun, dalam hal-hal tertentu, kerap menghancurkan kemewahan kolektif-kolegial kemesraan bercakap-cakap. Sekarang, misalnya kita taruh "keperluan ekonomi" dalam soal palingan pembicaraan. Pada dasarnya, keperluan ekonomi senantiasa memuat sisi yang paling privat bagi individu, sekaligus menjadi rahasia umum untuk membuat jokes tongkrongan.  Kalau soal penentuan kebijakan yang lebih masif, ketertujuan pertanyaannya, untuk saat tentu bukan kepada kalangan kami. Alih-alih membereskan pelbagai lilitan hutang, mereka justru malah  menumpuk-tunda tugas utamanya. Sibuk mencari suaka, sembari mempersiapkan korban selanjutnya. Syukur, se...

Kepada Hati Permata (3)

Ini sangat sederhana, Ni Bukan suatu hal yang perlu engkau khawatirkan Bukan sebuah hal yang harus engkau risaukan Ni, ini soal ku Soal yang sampai detik ini belum terjawab Perihal yang sampai hari ini belum tersingkap Ni, jendela kamarmu tak pernah melarang untukmu menengok Tak lekang untukmu mengais tawa kembali Ni, ini teramat sederhana Sesederhana engkau berjalan Sesederhana matamu memejam _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _  Ni, hati permata itu milik engkau Alam raya memberimu itu, sebagai anak tangga mengalami kepulangan ***Solo, 4 Agustus 2020.

Kepada Hati Permata (2)

Matahari 12, nampak terlampu sirat Membisu membidang, memaling di sebagian ruang Sih, untuk sampai pada simpul, sementara nun jauh  Walau mendung, tidak selalu badai Angka 44, berawal di 18 Kerumun meriuh, kerumun merendah Dik, 8 di 20 Berdenyut rumah yang paling rumah Selaksa tengah menempuh palingan bahasa  _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Ni, dunia tidak benar benar memutar Ia sekadar terkatung katung logika, terkungkung di batok kepala ***Solo, 3 Agustus, 2020.

Kepada Hati Permata (1)

Masih jauh,  gapai dari tangganya Sejauh mata mereka menerka silau matahari 12 Tangga ini, masih terlalu rapuh untuk di gubah Pun, terlampau ringkih demi matahari 12 itu Kan, mengapa mesti ini Kan, kemana harus melalui _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Pada matahari 12, matamu padat di jembatan 4 Selaksa angin 50, hati permata ***Solo, 2 Agustus 2020.

Manusia Manusia Semacammu (5)

Tertawa ditengah kepedihan jiwa, menangis diantara kelakar banyak wajah Nun, bertepi tak berbidang Ulasan tanya, nihil terjawab Beraneka sua, tanpa sanggup menyingkap Manusia manusia semacammu, terus berjalan bermehek Katanya, demi melunasi hutang budi Sepadan dengan seluruhnya, ingatan tertuju pada kepulangan Ia,  merengek pada jarak, Menaruh dan melarut cita, menyulam misteri yang paling privat ***Solo, 2 Agustus 2020.

Manusia Manusia Semacammu (4)

Mereka tak biasa, kami berbiasa Kami di pasung kecurigaan, mereka di lepas kewajaran Mereka mengalami hari ini, kami tidak sama sekali Kami lebih sering berbeda, mereka malah kerap sama Mereka searah, kami berhaluan kesamping juga membelakang Kami berniat fana, mereka sudah berlaku abadi Mereka siap sedia dan telah berkorban,  kami memilih tertawa sampai ketiduran Kami dibunuh diri, mereka menghidupkan langkah hati ***Solo, 1 Agustus 2020.

Manusia Manusia Semacammu (3)

"Rega nggawa rupa"; harga membawa penampilan. Kira-kira begitu, bunyi hukum alam berlaku. Punya sigini, dapatnya segini. Dapat segitu, kalau punyanya segitu. Tetapi, bagaimana dengan moral? Apakah kemudian berlaku didalamnya, atau ada distingsi dalam lingkupnya? Sore menjelang senja, lampu-lampu kota mulai menyala. Hiruk-pikuk pejuang kehidupan, rata-rata tengah berpulang. Jalanan padat merayap, gesekan batin sama-sama ingin mendahului kepulangan. Ditengah arus besar peristirahatan rutin harian, ada pula yang baru saja berangkat menuju lahan garap perjuangannya. Para pelaku perjuangan itu, mengarungi jalan sunyinya masing-masing. Pendapatan secara ekonomis, jelas berbeda. Kelas atas, menengah, sampai bawah, memadat dan berkerumun riuh di sela-sela bidang ma'isyahnya. Konon, orang yang berpendapatan ekonomi atas, berlaku bagi mereka yang pandai "jualan", apapun itu. Dari kebutuhan pokok, sampai hiburan belaka, semuanya berhukum sama.  Berbanding terbalik, mereka ...

Manusia Manusia Semacammu (2)

Nampak jelas, guratan juang dari pelipisnya, tak terkecuali lebam kedua telapak tangannya, tanda berat memikul tanggung jawab. Diantara ribuan wajah yang bersua, agaknya yang ini lain dan berbeda. Disana ada ketulusan, kesabaran, sekaligus dentuman syukur tiada henti. Ia, sejatinya tak berkecukupan, menurut kacamata modernitas. Pun, terseok-seok roda life style yang hingar-bingar abad 21 ini. Namun, sepertinya tidak pernah terjadi "apa-apa" dalam jiwan terdalamnya, misalnya cemburu dunia, dan lain sebagainya. Ditengah badai virus "by design" kekuatan besar ekonomi dunia, ia semacam tak memperdulikannya. Walaupun tetap saja, perilaku dalam konteks pemenuhan kebutuhan sehari-sehari, tak ternafikan ikut ter-gubah. Hari demi bari dilewatinya dengan sentuhan romantik bersama anggota perjuangannya, keluarga. Disanalah, kunci kelegaan batin dalam mengarungi hidup yang garang nan kejam. Disana pula lah, titik terendah dan bangkit bercampur dengan air mata yang tak mampu ia ...

Manusia Manusia Semacammu (1)

Apa pernah... Engkau mengunjungi sebuah kota, dimana mimpi-mimpi kau gores disana Kemudian, batinmu tertuju pada banyak wajah, yang menyerta disana  Apakah sempat... Waktu kok berjalan melamban, tak biasa pada sepertinya Kemudian, kenang membanjir haru, meresap ke dadamu Pabila engkau mengalami itu, ucapku salut padamu Tak banyak manusia semacammu, yang dengan tulus mengarungi hidup, penuh dengan ingatan merdu Dan, titip pesanku pada hatimu... Bahwa manusia-manusia semacammu, adalah pewaris sejarah sunyi, yang mana disana, terdapat ingatan jejak prasasti, bumi milik bersama ***Banyumas, 24 Juli 2020.

Bersaksi Atasnya

Dahulu... Ku coba selalu menunggumu Memaksakan diri, menyita waktu Dahulu... Ku gadaikan masa, hanya demi bertemu sapamu Dahulu... Masa depan tergambar jelas, saat kita memadu laksana Tetapi, semua mesti berkabung Saat engkau memihaknya, memilihnya  Lampu pusat kota, bersaksi atasnya ***Banyumas, 20 Juli 2020.

Palingan Salingan

Ada yang selalu terlewat,  kala udara melantun sirat Kenangmu... Selalu terbayang wajah syahdu,  dari balik jeruji kediamanku Kenangmu... Lekuk indah senyummu, berpadu dengan teh sajianku Kenangmu... ***Banyumas, 20 Juli 2020.

klise

Apa yang menjadi selaksa diujung timur, adalah sejati Begitu juga di pandang barat Tapi kemana kau? Bukannya aku tengah bermain ini, apalagi berdalih itu Yang jelas, semua berenergi sama Tapi kemana kau? Ingatan bertumbuh kesana kemari Padanan menjadi bias Sedang, aku ini klise Tapi kemana kau? Seluruhnya,  mengatasnamakan keabadian Berkayuh menuju kebijaksanaan Tapi kemana kau? Hah!? katamu, Iya, pesanku ***Banyumas, 19 Juli 2020.

Persaksian Pecundang (2)

Leherku ketat oleh asap, mataku pekat karena jarak Diantara bayang lalu hadir, mengisi dada sesak berserak Apalagi harus ku alami, bila tak lagi makna mengarti Apalagi wajib ku alami, bila nyawa deras menangisi raga ini Inilah kesaksianku kekasih Pecundang dari tanah kelahiran Badanku tercabik sepi, bibirku lemas bertepi ***Banyumas, 18 Juli 2020.

Persaksian Pecundang (1)

Dalam ruang gelap jiwa,  merongrong beragam asa Bergeliat harapan masa akan, meronta pelik tak berkesudahan Impian terus mengaliri pikiran, impian membasahi perasaan Energi terkuras keadaan, ragam tema memutar berkelindan  Sebenarnya, dimanakah engkau berada kekasih Parasmu seolah bersembunyi, membelakangi nuansa tabir perjumpaan Sebenarnya, kemanakah aku menjemputmu kekasih Bila arah tak lagi mengarah, jika titik tak dapat memberhentikan Asaku lengah, terengah Nafasku kontai, meludah Entah, lah ***Banyumas, 18 Juli 2020.

Spesialisasi atau Generalisasi

Spesialisasi itu, mengharuskan linieritas. Baik dalam lingkup akademik, maupun track record sosial. Ini penting, namun bisa jadi memunculkan cacat keterbukaan, nir-inklusif. Pada sisi lain terdapat generalisasi, sebagai lawan dari spesialisasi. Sifat dan sikap universalitas pada generalisasi, memiliki interest untuk memasukan segala unsur yang ada. Akan tetapi, bisa pincang spesifikasi, nir-eksklusif. Keadaan dekade terakhir ini, semacam bermusuhan dengan keduanya. Spesialisasi menghina generalisasi, begitupun sebaliknya. Pada dekade akhir-akhir ini, digitalisasi memuat algoritma tersendiri dengan AI-nya. Diantara spesialisasi dan generalisasi, keduanya memiliki celah yang saling tambal sulam. Keduanya, memungkinan terjadinya aspek dialogis, bila memang ada insight untuk mengetengahkan ketersalingan. Syahdan, sekalipun penetrasi kebudayaan terus menerus tercerabut dari akarnya oleh arogansi sains global, mereka akan tetap menyambung tali simbiosis mutualisme. Dengan catatan, antara spe...

Dibalik Meja Revolusi

Perkara kejenuhan, bosan, dan lain sebagainya, yang sejenis rasa dengan hal tersebut, sejatinya mirip dengan kesenangan. Keduanya sama-sama berwarna semu, inner-subjektif, dan uncertainty. Sekalipun kedua problem itu berkelindan up-down dalam nafas jalan manusia, yang pasti eksis diantaranya adalah, perkara sikap favorable-unfavorable saja. Artinya bukan menjadi titik tekan paling krusial. Itu sejenis bunga ditaman yang memiliki inter-subjektif, sama-sama memancarkan keindahan yang absurd. Jenuh, bosan, dst., jelas sama sekali bukan idaman manusia, walaupun kondisi tersebut cukup mendorong produktifitas peradaban dalam bentuk yang macam-macam, selain fitrah kuriositas. Beban berat yang menumpuk, merupakan salah satu biang keladi kejenuhan dan kebosanan. Namun, tidaklah perlu merisaukan hal tersebut. Sebab, diantara semua agenda revolusi yang overt maupun covert, pola stagnan yang melekat kuat pada diksi jenuh dan bosan, ialah pangkal-hulu gerak kesejarahan. Syahdan, memang semua perlu ...

Kenyataan Pertanyaan

Kemampuan filsafat, apabila kita gali ulang, nilai puncal kehebatannya bukanlah pada hasil atau kegunaannya. Sebagai induk segala ilmu, filsafat lebih tertarik untuk mempertanyakan segala hal, secara radix. Jawaban Thales, atas hulu alam semesta ini, tidaklah se-heboh pertanyaannya. Begitupun jejak kesejarahan para filsuf setelahnya, sekaliber Socrates, Descartes, dan seterusnya. Segala macam revolusi dunia, baik itu yang tercatat oleh sejarah maupun yang tidak, memuat sisi kehebohan pertanyaan filosofis. "Kenapa harus Matahari?", kata Ibrahim. "Kenapa mesti kapitalistik kesukuan", kata Muhammad. Menjawab sebuah pertanyaan, bukanlah hal yang mudah. Namun, memunculkan pertanyaan yang radix, sebetulnya jauh lebih susah. Syahdan, sayangnya cover sosial kelihatannya tidak terlalu tertarik untuk mengetengahkan soal kehebatan pertanyaan. Karena memang, kekayaan dan kekuasaan, jauh lebih menarik, sekalipun itu kenyataan yang fana. ***Cilacap, 13 Juli 2020.

Celah untuk Beragama

Dalam ruang kesadaran manusia yang serba misterius, terdapat pola yang cenderung berulang, ialah ketidakberdayaan manusia terhadap sesuatu, akan berefek pada perilaku mencari celah untuk berdaya kembali. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), dikembangkan oleh manusia, untuk membantunya dalam keberdayaan. Segala macam hal, yang dahulunya tak mampu digapai, kini dapat tergapai. Misalnya, komunikasi jarak jauh dari satu alat saja. IPTEK yang memiliki peran membantu manusia dalam keberdayaan yang begitu luar biasa canggih saat ini, ternyata masih tidak mampu memastikan "kapan manusia akan mati". IPTEK tidak mampu memastikan, ia hanya sanggup sampai memprediksikan, itu pun tidak selalu andal. Ditengah ketidakberdayaan IPTEK memastikan perihal kematian, disanalah agama hadir sebagai sandaran manusia. Walaupun kita sama-sama memahami, bahwa agama bukanlah semata-mata hadir hanya untuk menambal celah ketidakberdayaan manusia an sich. Dalam pencarian mencari celah keberdayaan, ada p...

Pertanggungjawaban Persepsi

Perjalanan waktu memang membuktikan, misalnya betapa mengecilnya lingkup pergaulan. Manusia sama-sama mengalami, pernah dikecewakan oleh manusia lainnya, pun sempat mengecewakan manusia lainnya. Waktu kerap membuktikan, siapa yang benar-benar tulus, dan siapa yang mungkin kurang tulus. Walaupun ada pembenaran sikap untuk menghindari orang yang kurang tulus tersebut, namun bagi orang yang bijak, itu bukanlah pilihan tertepat. Selain sebagai pelaku kemungkinan, manusia juga merupakan pelaku persepsi. Dibalik persepsi, ada konsep diri yang melatarbelakanginya. Yang mana, hal tersebut benar-benar unik. Dalam artian, tidak ada yang sama persis antara satu dengan lainnya, paling maksimal mirip-mirip. Dari yang mirip-mirip inilah, manusia menggauli manusia lainnya.  Faktor lingkungan atau pergaulan, memang cukup berpengaruh besar bagi konsep diri si manusia tersebut. Sebab disanalah, proses interkasi pengalaman berjalan dialektis. Pertukaran pengalaman, sangat berpotensi menumbuhkan kesad...

Masalah Belajar Masalah

Kerumitan masalah demi masalah yang manusia hadapi, merupakan media pembelajaran yang paling efektif, sekaligus paling kejam. Sekolah, kampus, kursus, dan lain sejenisnya, barangkali mampu memberikan apa yang kita sebut pembelajaran. Akan tetapi, agaknya hal tersebut tidak se-radikal masalah yang kongkret dihadapi oleh individu. Kita berpengalaman atas belajar dan pembelajaran, baik yang formal maupun yang non-formal. Walaupun tidak senada persis, kita sama-sama mengalami, bahwa misalnya, betapa sulitnya mengajari anak untuk rajin belajar, sedang anak tersebut tidak pernah "bermasalah" atas ketidakrajinannya dalam belajar. Atau katakanlah, betapa sulitnya saya berempati kepada anak yatim, sedang saya bukanlah anak yatim, dan masih banyak contoh lainnya. Menurut agama, masalah hadir sebagai penebus dosa, pemberi peringatan, jalan tol per-taubatan. Masalah yang datang, kata agama, menyesuaikan kemampuan individu manusia tersebut menyangganya. La yukalifullohu nafsan illa wus...

Pusaran Relasi Absurditas (10)

Sekalipun pemilu 2019 yang panas kemarin masih menyisakan riak-riak perpecahan, hal tersebut sangat mungkin untuk terulang kembali pada pemilu-pemilu berikutnya, apabila undang-undang ambang batas masih berlaku, walaupun undang-undang bukanlah variable utamanya. Pada era media sosial yang tengah memuncak akibat pandemi akhir-akhir ini, tidak kemudian informasi yang mengandung unsur perpecahan lenyap begitu saja. Pasalnya, hal-hal yang membuat kisruh di media sosial akan tetap ada sepanjang manusia itu sendiri ada. Kita sebagai manusia lainnya yang hidup bersosialisasi di media sosial, dapat menemukan pelbagai kekisruhan itu. Pengendalian atas "kerusuhan" tersebut mungkin agak terkendali dengan beberapa undang-undang yang diterapkan, walaupun dalam tataran praksis justru merugikan pihak-pihak yang bersuara lantang. Dalam konteks kekisruhan yang terjadi di jagat media sosial, entah apapun kontennya, bisa kita tempatkan ke dalam sisi eksternal dari diri masing-masing kita. Artin...

Pusaran Relasi Absurditas (9)

Eskalasi yang terjadi pada informasi digital akhir-akhir ini, kerap membuat psikis publik kelimpungan. Broadcast your self yang sudah mengembang dan tumbuh, acapkali menjadikan publik tercerabut dari akar kebudayaan ketimuran yang santun. Media sosial kadangkala  kelewat batas, untuk tidak mengatakan sering, menampilkan segala macam hal, yang positif dan negatif membaur tak terperikan. Memang, kita sama-sama mengerti, bahwa seluruh keputusan konsumsi dikembalikan pada diri individu masing-masing. Akan tetapi, hukum propaganda tetap saja berlaku dalam segala zaman, salah satunya adagium; "sesuatu yang diulang-ulang akan menjadi benar, sekalipun itu keliru". Dalam rangka menyimpulkan benar dan salah, manusia memiliki tendensi dan preferensinya sendiri-sendiri. Lebih kurang, ia akan mempertimbangan pengetahuan tradisional (waktu), akal sehat, pihak otoritatif, dan intuitif. Yang mana, pertimbangan tersebut memiliki ketidakandalan yang primer, dalam artian margin of errornya sang...

Angka 8

Jalan begitu panjang, makna mengitar teramat dalam Seloroh kumbang, tak berarti simpul jawaban Kepala tak mampu mengurai, terlebih pada dada dekapan Berganti pagi, tak kutemui titik terang  Berubah hari, tak kujumpai pencerahan Dimana, alam raya menyimpan? Lusuh hati berkalung padatan, pelik mengalun picik Belum juga rasa itu mencair, justru beralih mencekik Pun... Tersisa satu kegusaran, Dimana, alam raya menyembunyikan? ***Banyumas, 8 Juli 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (8)

Cara pandang bukan hanya beragam, namun sangat dinamis, bahkan pada diri setiap individu. Kita bisa menjumpai hal tersebut pada banyak hal, salah satunya pada diksi "sepeda", akhir-akhir ini. Kedinamisan yang melekat pada cara pandang, terkadang disalahartikan sebagai ketidak konsistenan atau kelabilan sikap. Padahal jelas-jelas, dinamika selalu mewarnai kehidupan, dari mulai metabolisme tubuh sampai ekosistem pasar global. "Indonesia memang sudah melaksanakan persatuan, akan tetapi kita belum mewujudkan kesatuan", kata 'orang gila' yang saya temui tahun 2017. Mendengar kalimat itu, saya hanya mengiyakan saja, sambil tetap mendengarkan orang gila tadi ngoceh, sekaligus ngacung-ngacung buku yang ia tulis sendiri, katanya. Ketika kejadian 2017 tersebut saya ingat-ingat kembali, ternyata ada benarnya juga. Walaupun diksi persatuan dan kesatuan itu perbedaannya betul-betul tipis, akan tetapi, maknanya berbeda 180 derajat. Pertanyaanya, apa yang berbeda? Jawaban ...

Kekasimu Bisa Apa?

Urat malu peradaban terputus oleh jarak, waktu, dan kelamin Kekasimu bisa apa? Kebudayaan terjun bebas, kemiskinan ditertawakan Kekasihmu bisa apa? Agama menjadi komoditas, neraka dijual bebas Kekasimu bisa apa? Kemewahan dipertontonkan, kesusahan ditiadakan Kekasihmu bisa apa? Kekayaan dikejar, kekuasaan diprimerkan Kekasimu bisa apa? Libido diliarkan, aurat mereka persilahkan Kekasimu bisa apa? Orang tua dilupakan, ciptaan Tuhan kami lecehkan Kekasimu bisa apa? Cinta dikerdilkan, rindu dinafikan Kekasimu bisa apa? ***Banyumas, 7 Juli 2020.

Sehelai Biji Padi

Ada mimpi yang melambat Ada harap yang terhambat Gambar diri, menatap kuat Kosong, namun padat Beberapa sisi dunia menghantam Tibanya makna, mengais letupan Terkira, tetapi tak berujung suram Frasa mata mengatur jejak Langkah kontai berbekal serah Bagaimana kekasih, bila dadaku tertikam peluru tajam Berlumur darah dosa, membanjir sungai duka Bisakah engkau berdiri di hadapan Menanti tegak impian, merajut hari berdampingan Tetapi kekasih, imanmu sekecil isi biji padi Mudah terseok burung sehari, tak berarti bagi pak tani ***Banyumas, 7 Juli 2020.

Berat Sebelah

Pundak sebelah kanan, berkalung penantian Mengelak lupa, menepis penat tersisa Meski gerimis mendera telinga, mata hanya sanggup meraba kemana perginya cerita Ia lusuh,  luruh menatap jendela Mereka cemas, menyimpan tanya di tengah dada ***Banyumas, 6 Juli 2020.

,,,

Berkah,  atau kutukan Tak berkelit, satu arah Gelap, diantara keterangan Laknat, ditengah penantian Kemana lagi, arah menatap Pekat, mengalun sesaat ***Banyumas, 6 Juli 2020.

,,

Kepada mimpi yang tak sempat aku balas Engkau memberiku harap tak berkilas Letih mangakar belukar Kepada gerimis yang mengumpat di antara perbatasan Aku menunggui jejak nafas perjumpaan Menyetiai paradoks menampar ***Banyumas, 5 Juli 2020.

,

Ruang kosong menyita makna,  berserak diantara Arti jalan mengerdil, diam diam beranjak sama Tidak mengerti, hanya beradu sisi Disana mencari, menggerus imaji Yang di hadapan, berkata bukan Yang di tepian, berkata sekian ***Banyumas, 4 Juli 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (7)

Saya sebenarnya tidak terlalu mengerti, atau hafal dengan baik tentang konsep-konsep yang berkembang dan berpengaruh besar terhadap perubahan peradaban. Sebut saja misalnya, tauhid, tasawuf, tarekat, filsafat, sains, algoritma, dlsb., namun yang saya pahami dari itu semua, adalah terkait pedoman yang dibuat "alam" untuk memudahkan interaksi perjalanan kesejarahan. Berbicara tentang interaksi, maka secara waktu, ia merupakan sesuatu yang tak akan selesai, dalam artian akan terus mengalami perkembangan sepanjang manusia itu hidup. Konsep dan teknis interaksi, jelas akan berbeda, misalnya antara tahun 80'an dengan hari ini. Dalam berinterkasi, manusia sebenarnya bukan hanya menikmati pertukaran bahasa, gestur, informasi, dlsb., tetapi juga exchange kebudayaan. Sebab, azali "pengaruh-mempengaruhi dan aksi-reaksi", akan selalu meruwat atau membentuk jiwa masing-masing pelakunya. Bentukan antara satu individu dengan yang lainnya, jelas beraneka ragam, unik. Diatas sem...

Mukadimah Arah

Malam tiga puluh Dadaku bak tercelup wangi nirwana, terpeluk hati kedalam sejuknya Malam tiga puluh Bersaksi atas nama gelisah, men-jeda waktu bersanding pasrah Malam tiga puluh Terpapar wajah elegi-nya, parasmu parasmu parasnya Malam tiga puluh Menandai juni berlalu, tersapu debu debu itu  Dan, sampai pagi menyala Parasmu parasmu parasnya, menandai mukadimah-nya arah tema ***Banyumas, 1 Juli 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (6)

Barangkali, yang sampai saat ini masih luput dari perhatian saya, dan mungkin kita semua adalah soal kelegaan menerima. Apabila kita lihat disekitar, banyak sekali terdapat kasus-kasus berat, yang sebenarnya sanggup teratasi secara tidak berat. Misalnya dari mulai pembunuhan, bunuh diri, korupsi, perampokan, kemalingan, pemerkosaan, hamil diluar nikah, narkoba, miras, perceraian, dlsb., hemat saya berakar dari ketidaklegaan batin individu terhadap realitas yang tengah dihadapinya. Pandemi yang tengah melanda sejak beberapa bulan yang lalu, bisa kita simpulkan memberi sumbangsih persoalan baru bagi dunia, untuk juga mengatakan memiliki dampak yang positif pula. Namun, tak sedikit akar soal pandemi ini, memberi pengaruh pada kasus-kasus yang sudah saya sebutkan diatas. Kembali ke term kelegaan batin, bahwa mungkin hal ini tidak kentara sebagai biang keladi kasus-kasus yang tertulis dalam riset-riset, namun itu tidak kemudian menurunkan kepercayaan saya dalam melihat persoalan secara jern...

Perempuan Cisadane (3)

Sertakan semua kesahmu pagi ini, atau kau menangis kemudian Kau manusia, tak lekang oleh luka Katamu, semua sudah berlalu sahaja Kataku, seluruhnya masih tersisa di dada Aku mengerti itu Memahami sepenuhnya, suasana rasa Kau berdiam, bersembunyi diantara keruhnya kita Sedang aku, masih mencumbui kepada Lalu, sementara tak bergumam sapa Dan kita, terlelap tanya Menunggu gulita, setiap paginya ***Purwokerto, 28 Juni 2020.

Perempuan Cisadane (2)

Bentangan jarak me-luang logika, mencari ruang benak cerita Kau disana,  aku dimana Rumit memecah cerita berlumur angka Kita sedang silang hadap Membelakangi gawai bersama, menuai curiga kedepannya Aku mengerti kondisi, kau tidak Dan diantara seluruhnya, teruntai semoga selaksa Bagaimana ini semua, kau bertanya Sedang apa kau kini, aku curiga ***Purwokerto, 28 Juni 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (5)

Format masa depan, hampir selalu menyisakan ambiguitas yang sanggup mengernyitkan kepala. Misteri yang senantiasa melekat padanya, kadangkala bisa menaruh bias kognisi.  Kita bisa memberi tanda koma terhadap sikap, namun tidak pada waktu yang terus berjalan. Rentetan pengalaman pribadi yang terakumulasi dengan fenomenologis publik, menjadi sajian kompilasi yang serba membingungkan. Jalan terjal mungkin pernah terlalui, akan tetapi tidak semuanya sanggup memberi arti. Keharusan memiliki 'nalar belajar', nyatanya tak semudah membicarakannya. Kita kerap kelimpungan, akan hal-hal demikian. Syahdan, ketika manusia ber-sosial, tetap saja ia tengah menempuh ruang sunyinya. Walaupun secara eksistensial, ia terkoneksi dengan sekitaran.  Maka tak heran, Jung pernah membeber terkait Psychology and Religion, 1938. Yang disana, ia memberikan penegasan bahwa, jiwa manusia memiliki bawaan imanen.  Dan itulah, background terpenting dalam menempuh jalur sutra, masa keakanan. Dimana kesada...

Menuju Pagi Menyulam Sepi

Menuju pagi, tergeletak cadas ramai yang letih Buyar mimpi terkelupas lemas Menuju pagi, ragam wajah membuncah lelah Sisi lain hidup, mengulang sisa sejarah Menuju pagi, Sayup bibir sang pujanga Iramanya, melambat pekak Menuju pagi, tepian surga bias melugas Getar kaca jendela, menegur hati berkala Sampai pada akhirnya, terpisah nada-nada  Mereka, berkutat lekat penat diujung mata merampas bunga ***Cilacap, 22 Juni 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (5)

Masa depan yang sejatinya memiliki sifat privat-personal dengan Tuhan, bukanlah hal yang sama sekali tabu. Walaupun masa depan memuat sisi yang misteri, akan tetapi kita bisa melihat disekitaran-orang terdekat, betapa banyak mata kita diperlihatkan dengan orang-orang yang dulunya menekuni bidang A, kini banting haluan ke bidang X. Dalam rangka me-waspadai kemelencengan jalur karir, maka sikap fokus adalah kuncinya. Sekalipun distraksi selalu muncul setiap hari, bahkan permenitnya. Kuda-kuda fokus memang berat, apalagi jika keadaan berubah amat cepat seperti akhir-akhir ini, yang kerap menelan format idealitas-konkret. Satu-satunya rahasia umum yang berlaku untuk menghadapi misteria masa keakanan, adalah keimanan terhadap yang Maha mengerti rahasia.  Jalan berserah, menjadi term logis, untuk tetap melangsungkan misi kekhalifahan, dengan tetap menaruh kesiapsiagaan atas nama kepastian perubahan. ***Cilacap, 21Juni 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (4)

Frekuensi komunal, pasti selalu berakar dari koherensi tematik. Hal-hal yang berkelindan didalamnya, ada banyal hal. Utamanya, perihal hubungan. Hubungan mengandung arti keterkaitan antara dua hal atau lebih, yang bertolak dari term "saling" pragmatikal, dan atau simbiosis mutualisme. Hubungan memiliki korelasi multidimensional, yang berakar dari kesinambungan kebutuhan. Hal yang tidak kentara dari hubungan adalah frekuensi komunal sebagaimana kita singgung diatas. Frekuensi komunal menyangkut hajat hidup manusia yang terus melingkar, serta tidak akan lekang oleh warna laju tumbuh-kembang sains dan teknologi mutakhir. Dalam tataran kekinian, nampaknya kita akan terus menerus dihadapkan dengan pola umum yang berlaku. Misalnya, naik-turunnya kohesifitas sosial. Apalagi, situasi yang tengah melanda dunia, adalah pandemi. Syahdan, frekuensi komunalitas pada abad milenium ini, tengah di uji melalui fenomena media sosial, yang memberikan space kepada publik untuk berekspresi secara...

Pusaran Relasi Absurditas (3)

Arah langkah memuat dimensi tarikan dan dorongan bagi pejalannya, berangkat dari kesenangan yang terfasilitasi oleh kesempatan dan kemampuan. Sebelum sampai menentukan titik tujuannya, manusia akan selalu diributkan terlebih dahulu oleh pergolakan batinnya, dari soal sederhana yang menyejarah antara "iya" atau "tidak". Keributan atau percekcokan batin itu, mengandung unsur yang serba holistik. Dari ekspektasi sederhana, sampai yang rumit dan kompleks. Semua saling mengalahkan, dan seluruhnya mencari pembenarannya. Diantara pelbagai pilihan apa dan kemana arah langkah itu akan dituju, alamiahnya proses mental, akan membentuk format kiri dan kanannya dalam gambaran imajiner. Disanalah, struktur ideal dan real akan diuji secara berkala. Mungkin, reng-rengannya akan melaju dalam skala kecepatan cahaya. Entah berapa lama reng-rengan tersebut berlangsung, tentunya hal tersebut berlaku selama umur manusia berlangsung. Walaupun ritme yang ada, serba dinamis dan beragam tema...

Pusaran Relasi Absurditas (2)

Keluasan sikap antara satu manusia dengan manusia lainnya, biasanya tergambar dari sisi keramahannya. Orang yang dewasa, akan memilih lembut ketimbang kasar. Memilih untuk rendah hati, dari pada arogan. Pada sisi lainnya, manusia yang serba unik ini, mengalami dinamika kejiwaan yang sebenarnya sangat cepat, namun juga lamban. Cepat di asosiasikan terhadap perubahan mood, sedang lambat di asosiasikan kepada perubahan gerak. Mood dan gerak keduanya integralistik, sekalipun tak selalu kausalistik. Manusia sebagai figur peradaban, memuat sisi sunyi dalam dirinya. Seperti menyimpan rahasia diatas rahasia, semacam menyembunyikan suara ditengah jeritan jiwa. Yang nampak, tak selalu yang nyata. Sesekali, yang nyata itulah yang senyatanya. Kini kita sama-sama bisa menyaksikan, betapa arus perubahan dunia sebegitu cepatnya menggeliat, walaupun sejatinya itu tidak mengganti yang esensi. Ia tak lain hanya cover semata, ataupun kemasan an sich. Akar kesejarahan manusia tetaplah sama, ialah menggant...

Pusaran Relasi Absurditas (1)

Diantara pergolakan batin manusia, akan selalu memunculkan sebuah formula yang memetik dirinya pada ruang transformatif. Rentetan kejadian alam nyata yang terbatas, dan fenomena alam batin yang tak terbatas, memuat dialektika yang serba saling melengkapi. Terlebih, atas nama hubungan antara dirinya dengan yang Maha. Relasi manusia secara privat dengan yang Maha ini, secara awam kita sebut sebagai jalan keberagamaan ataupun jalur spiritualitas. Manusia yang selalu bersinggungan dengan relasi sosial sesama maupun alam raya, automaticly memuat nilai-nilai privat yang amat rahasia dengan yang Maha itu. Dari sana, barangkali kita akan menamainya secara sederhana, dengan sebutan dualitas identitas, yaitu identitas internal dan identitas eksternal. Yang internal itu terrepresntasi dalam imajinasinya memandang dirinya sendiri, sedang yang eksternal, memuat identitas dari arah sosial sekitarnya. Identitas yang memiliki sifat serba dinamis ini, kadangkala beraroma positif ataupun negatif dalam a...

Lebam Diri

Entah berapa lama, aku menempuh ini Jalan panjang, romansa Pada letupan sengkarut, tersimpan lebam diri menganut Mereka tak akan mengerti,  nafas lelah sang pencari Ditengah rentetan sejarah, tertegun kelam wajah kelabu Pekat menyelinap, tersisa lenyap ***Banyumas, 21 Juni 2020.

Formula Bersama

Dari kata, yang tak terlupa Dari wajah,  yang paling mengena Aku ber-dalih atas semua Mulai be-ralih menuju cita Bukan maksudku melupakan kita Namun inilah jalan tepatnya Menanti, memang melelahkan Mencari, mungkin meresahkan Maka,  bersamalah Ajakku, kepada engkau disana ***Purwokerto, 20 Juni 2020.

Wanita Pantai Utara

Ada beberapa hal, yang mungkin luput dari perhatianku Misalnya, tentang angamu dan lukamu Ada beberapa hal, yang barangkali menyeret prasangkaku Misalnya, guratan penamu dan senyum rekah bibirmu Banyak hal, sebenarnya yang aku sama sekali tidak mengerti Misalnya, perihal kita yang mungkin terjebak diantara kegaduhan dunia Tetapi, bolehkah sebenarnya, bibir ini mengucap tulus padamu, adinda Misalnya begini, "temani aku pulang menuju tempat asalmu", atau "temani aku pulang menuju tempat asalku". Namun, aku terlalu pengecut untuk mengatakan itu semua Terlebih, aku hanyalah manusia yang masih terbungkam senyapnya hasrat purba ***Purwokerto, 16 Juni 2020.

Perempuan Cisadane (1)

Ada kejenuhan yang begitu pelik,  saat aku yang harus mengalami Gundah, kerap membius hati yang bernasib sepi Pada waktu malam menjelang pagi, sapamu menggeliat nurani Berbisik tentang aku, dalam tatapan engkau Hal-hal remeh menjadi pusaka, untuk lubang bernama jiwa  Engkau, menepikan pelukan gelap Engkau, menabur benih sukma Dan hanya engkau, memerantarai pagi, atas nama hati ***Purwokerto, 16 Juni 2020.

Semestinya Kita

Ada bayang yang memadat,  di sela angin bersanding ombak Terdapat bayang yang memadat, diantara luka mengulit pekat Sepi mencekam nurani,  ketika cinta tak ubah sepi Kita semestinya berjanji, atas nama rindu melebar sunyi ***Cilacap, 15 Juni 2020.

Deru Ombak Terasa

Deru ombak terasa menawan, bila hadirmu tak sudah ditelan angan... Deru ombak terasa mencekam, jika hadirmu beranjak kesudahan... Deru ombak terasa mengekang, kala  hatimu tak lagi mengiang ***Cilacap, 15 Juni 2020.

tak ada yang lebih prasasti

Tak ada yang lebih prasasti, dari wajah bulan juni Digulungnya kenangan berakar jemari Tak ada yang lebih prasasti, dari wajah bulan juni Dikepungnya kenangan berakar janji Tak ada yang lebih prasasti, dari wajah bulan juni Diseoknya pelukmu menusuk sanubari ***Cilacap, 15 Juni 2020.

Bagaimana Tuhan

Bagaimana aku bisa melindunginya, jika diriku sendiri masih rutin melukai Bagaimana mungkin aku membahagiakan dirinya, bila diriku sendiri masih kerap mengancamnya Bagaimana lagi... Bagaimana lagi... Bagaimana lagi... Tuhan... Aku lemah tak berarti Aku hancur tak berbentuk lagi Tuhan... Tolonglah aku dan nafasku ini... ***Banyumas, 15 Juni 2020.

Kemana Lagi

Kemana lagi arah langkah mesti beranjak... Bila semua sudut menutup dirinya Bagaimana lagi rasa mesti mencari... Jika semua ruang menggigil beku  Siapa lagi mesti terluka... Andai waktu berjalan kaku Aku dan semuanya... Berpaling dari semestinya Aku dan semuanya... Berontak hati mencekam suasana ***Banyumas, 15 Juni 2020.

hanya lagu

Hanya lagu yang bisa aku dengar. . .(1) Bukan kabarmu Hanya lagu yang bisa aku nikmati. . .(2) Bukan wajahmu  Hanya lagu yang bisa memahami. . .(3) Bukan hatimu  ***Banyumas, 13 Juni 2020.

langit imaji

aku menatap ke langit imaji. . . bertanya kabarmu hari ini aku menatap ke wajah diri. . . bergumam sepi lewat detak hati aku menatap ke dinding sanubari. . . berkaca mata menjelma sunyi ***Banyumas, 13 Juni 2020.

malam itu

malam itu kita bertemu. . . tepat ditengah pusat kota berlalu malam itu kita bertemu. . . disana, aku tersihir sapamu malam itu kita bertemu. . . tak bisa kubayangkan sesudah itu sampai pada suatu waktu,  hatimu memilih berlalu, meninggalkan jejak kelabu ***Banyumas, 13 Juni 2020.

kita,

kita, enggan berlari ke arah mimpi. . . geram, menengok kisah men-tragedi kita, berpaling hati penuh misteri. . . enggan, bersanding pilu mendaki kita, menyimpan rahasia hari ini. . . tentang hati, yang menunggu arti ***Banyumas, 13 Juni 2020.

Ada Wajahmu Disini

Ada wajahmu disini. . . Diatas bayang, tanah berduri Ada wajahmu disini. . . Tepat diantara luka yang mengajari Ada wajahmu disini. . . Terngiang dalam menghujam sanubari ***Banyumas, 13 Juni 2020.

Mengapa Semua

Mengapa semua begitu sesak terasa Kepada hati, engkau bertanya. . . Mengapa semua begitu kaku menjelma Kepada hati, kita bertanya. . . Mengapa semua begitu resah mengada Kepada hati, mereka bertanya. . . Dan, malam berganti hujan Kepada hati, aku berserah kekosongan ***Banyumas, 12 Juni 2020.

Bukan Sekadar Angka Bukan Sekadar Aksara

Benar dan salah merubah bubrah Tekad bulat menitik resah Bentangan suasana, telah menyejarah Dan, 24 bukan sekadar angka 24 bukan sekadar aksara Mereka, adalah jalan kita Mereka, adalah jalan menemuinya Nun, Tak mudah mengistirahatkan kata Tak ringan melupakan rasa Hari ini, aku kembali menyelip rangka Satu persatu tercoret rencana Masa esok, warna keluarga tercipta Demikian luasnya, menembus jiwa Sedang, engah masih mencarinya Rumah sederhana, di ujung fana ***Banyumas, 12 Juni 1996.

Menemukan Presisi Pola Pengasuhan

Tulisan ini, saya buat berdasarkan pengamatan yang sangat sederhana dalam kehidupan sehari-hari, baik itu interaksi secara langsung, maupun interkasi yang bersifat maya, media sosial. Semoga bisa memberikan trigger bagi kita, untuk senantiasa mampu memperbaiki yang sebelumnya keliru, dan juga mampu meningkatkan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya sudah baik. Pembahasan dalam tulisan ini, menyangkut tentang pendidikan karakter dan pola asuh, yang kemudian di fokuskan pada bagaimana melihat kembali, perihal pola asuh yang "mungkin" dahulu sempat menggores luka, untuk kemudian sanggup disembuhkan. Pendidikan karakter sebagai proses membentuk perilaku yang baik, mempunyai salah satu hal yang "agaknya" luput dari perhatian kita khususnya, dan  masyarakat umumnya. Hal yang agaknya luput tadi, ialah terkait dengan pembahasan "luka pengasuhan" saat anak-anak. Luka pengasuhan saat anak-anak, kerap terjadi kepada bapak/ibu yang hari ini memiliki anak. Pola ...